Senin, 15 Agustus 2016

Cerpen Kemerdekaan

Luka Merah Putih
Oleh Fera Andriani Djakfar

Setiap bulan Agustus, kawasan perumahan yang ditempati Pak Rohman tampak lebih cantik. Jalanan dan selokan menjadi makin bersih. Hampir tiap teras rumah dihiasi bunga-bunga yang berwarna warni. Bendera-bendera kecil berwarna merah putih dan lampu-lampu hias menambah semarak suasana perumahan tersebut. Tapi semua pemandangan yang tampak indah itu tidak dapat menggantikan kegundahan yang dirasakan Pak Rohman. Beberapa tahun terakhir dia mengidap sindrom tanpa nama yang selalu jatuh pada bulan Agustus.
"Assalamu'alaikum...!" Terdengar suara lelaki menguluk salam. Dengan tertatih, Pak Rohman bangkit dari kursi goyangnya dan beranjak ke teras. Pada pagi hari dia memang berada di rumah seorang diri karena anak dan menantunya bekerja, sementara cucu-cucunya ke sekolah.
"Wa'alaikum salam...!" Jawab Pak Rohman dengan suara agak bergetar. Maklumlah, pita suaranya sudah usang, setua dirinya yang berusia lebih dari delapan dasawarsa. Pandangannya juga sudah kabur, sehingga jika melihat sesuatu dia perlu memicingkan mata. Juga kali ini.
"Mari silakan masuk. Ehm... siapa, ya?"
"Saya Amin, Pak. Pengurus Karang Taruna di kampung ini."
"O, iya. Ada perlu apa pagi-pagi begini?" Tanya Pak Rohman.
"Saya ketua panitia kegiatan bulan Agustus, Pak." Ucapan pemuda itu halus. "Teman-teman telah sepakat untuk meminta Bapak agar berkenan mengisi acara di malam puncak peringatan dirgahayu RI."
Ucapan pemuda tadi tak ubahnya lava panas yang masuk melalui pendengaran, langsung ke hati dan membakarnya. Padahal setiap tahun dia mendengar hal serupa.
"Apa yang bisa saya sumbangkan? Menyanyi? Menari?" Selorohnya.
"Seperti tahun-tahun kemarin, Pak. Bapak mengisi acara Nasihat Sang Pahlawan. Ya, Bapak ceritakan perjuangan Bapak pada zaman penjajahan dahulu. Itu kan bagus buat memberi semangat kami yang masih muda ini."
Pak Rohman tertawa sinis. Itu lebih sopan dari niatnya semula yang ingin mencibir.
"Saya tidak bisa," jawabnya singkat dan tegas.
Amin tampak kaget. Jawaban pria tua di hadapannya benar-benar diluar prediksi. Kata teman-temannya, Pak Rohman mudah dimintai tolong.
"Nasihat Sang Pahlawan. Siapa yang dianggap pahlawan? Bapak?" Tunjuk Pak Rahman ke dada ringkihnya. "Pahlawan anak-anak sekarang, Superman, Batman, Spiderman, Ultraman.... mana ada yang mau mendengarkan nasihat bapak?"
"Tidak semuanya begitu, Pak. Saya jamin, acara Agustusan kali ini berbeda. Lebih ngindonesia, kok Pak. Lagi pula sejak dibukanya Pasar Baru dan Plasa di seberang perumahan, jumlah warga sini bertambah hampir dua kali lipat. Pasti banyak diantara mereka yang belum pernah mendengar cerita dan nasihat Bapak, kan?" Pemuda tadi terus berusaha meyakinkan. "Seperti usulan Bapak tahun lalu, acara malam perayaan tahun ini dibuka dengan doa, lalu paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Raya."
"Oh, ya? Siapa yang menyanyikannya?" Selidik Pak Rohman. Ada rasa bangga usulannya tahun lalu didengarkan. Dia memang pernah protes mengapa acara peringatan dirgahayu RI hanya diisi dengan menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer di kalangan anak muda saja. Jangan-jangan mereka tidak hafal Indonesia Raya.
"Para pelajar usia SMP, Pak. Cucu Bapak nanti juga kami ajak latihan."
Pak Rohman mulai luluh demi mendengar penjelasan Amin. Apalagi selama ini pemuda di depannya dia kenal sebagai pemuda yang santun.
"Seperti usulan Bapak pula, insya Allah tahun ini tidak ada iuran yang memberatkan warga. Semua dana Agustusan ditanggung oleh tim donatur yang terdiri dari para pejabat kampung kita, juga ada sumbangan dari sponsor. Itu hasil lobi dari bapak-bapak di sini juga."
Pak Rohman manggut-manggut. Tahun lalu dia memang mengusulkan agar iuran wajib bulan Agustus ditiadakan saja. Atau hukumnya diturunkan dari wajib menjadi sukarela. Itu mengingat betapa banyak warga kampung itu yang hidupnya pas-pasan, seperti keluarga anaknya yang dia tumpangi menghabiskan sisa umur.
"Ya sudah kalau begitu. Bismillah, bapak akan maju seperti kemarin-kemarin."
"Waduh... terima kasih banyak, Pak. Teman-teman panitia pasti senang mendengar hal ini. Kalau begitu, saya mohon diri dulu, Pak. " Pemuda itu berdiri, menyalami Pak Rohman dengan takzim, lalu mengucap salam.
Sementara Amin berlalu, Pak Rohman kembali menekuni bacaannya. Di masa tua ini yang bisa dilakukannya hanya membaca dan menulis. Di sore hari dia merawat tanaman hias yang ada di teras. Maklum, rumah-rumah di daerah pemukiman itu saling berhimpitan sehingga masing-masing keluarga tidak ada yang mempunyai halaman. Sebuah teras rumah yang mungil cukup untuk menyalurkan hobinya pada tanaman seperti waktu di kampung dulu. Dia terpaksa hijrah ke kota atas permintaan putri bungsunya setelah sang istri berpulang lima tahun yang lalu.
Sejak tinggal di perumahan ini, tiap perayaan malam kemerdekaan di bulan Agustus Pak Rohman selalu mengisi acara rutin Nasihat Sang Pahlawan. Pada tahun-tahun pertama para audiens mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun tiga tahun belakangan rupanya mereka telah hafal dengan cerita dan nasihatnya. Sudah jarang yang memerhatikan dengan seksama. Kebanyakan mengobrol satu sama lain, kecuali para bapak yang duduk tepat di depan panggung. Beberapa dari mereka pun terkantuk-kantuk. Namun begitu menginjak acara selanjutnya, karaoke bersama, sontak mereka bersemangat kembali. Itulah yang membuat Pak Rohman sakit hati. Tahun ini ditekadkannya untuk tidak naik panggung lagi. Namun demi mendengar penjelasan Amin, dia menaruh harapan agar tahun ini betul-betul ada perubahan.
                                                            *********
Hari demi hari berlalu, tibalah waktu dilaksanakannya malam peringatan Kemerdekaan RI yang kesekian puluh. Pak Rohman merasa cukup lega karena tahun ini memang tidak ada pungutan dana ini itu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika anak dan menantunya sangat terjajah dengan berbagai iuran. Mulai dari iuran menghias gang, dana perbaikan jalan, dana perlombaan, sampai iuran untuk membeli tong sampah baru. Seolah keberadaan sampah baru terasa di bulan Agustus.
Sore itu Pak Rohman menyempatkan diri melihat persiapan panggung yang letaknya beberapa blok dari rumahnya. Dan betapa terkejutnya dia setelah melihat dengan mata kepala sendiri, betapa artistiknya panggung hiburan tahun ini. Latarnya berupa lukisan pada kain yang sangat lebar, bergambar jalanan yang masih lengang dan belum beraspal. Di kiri kanan dilukiskan beberapa orang pejalan kaki dengan menyunggi bakul. Betul-betul menggambarkan Indonesia tempo doeloe. Suasana diperkuat dengan diparkirnya sebuah sepeda kuno merk Hamburg di atas panggung. Dia penasaran, siapa sih yang mempunyai ide kreatif seperti ini?
"Nak, panggungnya bagus sekali, ya!" Puji Pak Rohman dengan tulus pada salah seorang anggota Karang Taruna yang sedang menata kursi. Pemuda itu membalas dengan senyum kecut.
"Iya, Pak. Memang bagus...!" Ada nada ketus yang aneh, berlawanan dengan pujiannya. Pak Rohman merasakan itu.
"Ide siapa ini?"
"Nggak tahu, Pak. Dalam rapat kemarin tidak dibahas. Tadi sekelompok seniman ibu kota datang dan menata panggung utama. Sisanya kami yang melengkapi."
"Jadi bapak-bapak sini yang menentukan semua?"
"Begitulah, Pak. Bagaimana lagi? Yang mendanai acara ini mereka juga."
"Susunan acaranya apa saja?"
"Kami tidak tahu persis. Beberapa acara dirahasiakan oleh bapak-bapak itu."
"Lho, kok gitu? Lalu sebagai pemuda kalian berperan apa?"
"Ya, ngangkut barang-barang yang diperlukan. Maklum, kami tidak ikut menyumbang dana, sih. Yang berduit yang berkuasa, Pak.... kami aja penampilan dibatasi. Hanya sebentar saja yang boleh tampil! " Ada kekesalan yang terselip dalam kata-kata pemuda itu. Pancaran yang sama juga terbersit dari wajah-wajah panitia yang lain.
Pak Rohman miris mendengar hal itu. Maksudnya ketika melontarkan ide agar dana Agustusan ditiadakan tak lain agar acaranya cukup dilaksanakan dengan sederhana, namun khidmat. Bukannya bertambah mewah dengan gejala dominasi dan monopoli seperti ini. Apalagi sampai mengebiri kreativitas para pemudanya.
 Dengan langkah gontai penuh kekecewaan, Pak Rohman pulang. Bagaimanapun juga nanti malam dia harus tetap tampil sesuai janjinya.
*********
Suasana Malam Peringatan Kemerdekaan RI tahun ini sangat meriah dan terkesan glamour. Dendang lagu-lagu dengan volume yang memekakkan telinga telah diperdengarkan beberapa menit setelah adzan Maghrib. Para jemaah yang shalat di Mushalla kampung belum lagi menyelesaikan dzikirnya.
Tak lama setelah itu Pak Rohman datang ke acara bersama anak, menantu dan cucu-cucunya. Acara ini memang diperuntukkan seluruh anggota perumahan tanpa terkecuali.
"Pak, nanti kalau penontonnya cuek jangan marah-marah, lho. Ntar jantungnya kumat lagi!" Pesan putrinya. Lelaki tua itu mengangguk. Keluarga besar itu memilih duduk di depan, dekat dengan panggung.
Acara dimulai pukul setengah delapan malam, mundur satu jam dari yang tertera di undangan karena Pak Lurah yang sedianya membuka acara masih berada di tempat lain. Keterlambatan yang menyiksa, namun telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Budaya menghormati yang terlambat.
Bertindak sebagai presenter, seorang gadis yang tampil menarik, lincah, dan berpakaian seksi. Awalnya tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Namun lama kelamaan dari canda dan cara membawakan acara, banyak yang mengenalinya sebagai salah seorang penyiar radio lokal.
Acara diawali dari pembukaan dengan membaca Basmalah, tidak ada doa mensyukuri kemerdekaan seperti permintaan Pak Rohman. Kemudian pengumandangan lagu Indonesia Raya dan Gugur Bunga oleh belasan pelajar berseragam sekolah menengah pertama. Para penonton yang memang menyukai perubahan, terkesan dengan penampilan perdana kelompok paduan suara dadakan itu. Entah bagaimana reaksi mereka tahun depan. Bisa jadi tidak sama lagi, dirundung kebosanan. Acara selanjutnya sambutan-sambutan. Lalu tiba giliran Pak Rohman. Ketika namanya disebutkan, sayup-sayup dia mendengar sorakan "huuu" dari penonton. Tapi karena terlanjur dipanggil oleh pembawa acara, dia pantang mundur.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barokaatuh...!" Pejuang 45 itu membuka dengan salam yang lantang. Penonton menjawab dengan lantang dan kompak. Timbullah semangat Pak Rohman untuk meneruskan aksinya. Dia mulai bercerita bagaimana dia dulu merobeki warna biru yang ada pada bendera Belanda yang ditemukannya di jalan-jalan. Sehingga kompeni marah karena dimana-mana sang saka Merah Putihlah yang berkibar.
"...namun karena bapak melakukan ini di kampung-kampung, bapak tidak terkenal. Berbeda dengan kawan bapak yang dengan berani merobek bendera Belanda yang ada di halaman hotel. Dia gugur sebagai pahlawan yang diabadikan dalam film perjuangan...!"
Di bawah panggung beberapa remaja berbisik. "Film perjuangan? Yang mana?"
"Mene ge tehek?" jawab kawannya dengan bahasa gaul.
Pak Rohman masih meneruskan cerita dan nasihatnya. Namun lama kelamaan semangat lelaki itu kendor karena satu persatu audiennya mengobrol. Beberapa remaja, bahkan diantara mereka adalah panitia, asyik bermain dengan gadgetnya sambil cekikikan. Pak Rohman sadar, mungkin saatnya dia turun panggung. Padahal masih banyak yang ingin dia sampaikan, terutama tentang pendidikan moral. Terakhir dia berpesan, "Mestinya para pemuda kita harus lebih kreatif dalam membangun bangsa. Berlatihlah dari membangun kampung sendiri. Jangan mau didikte oleh para penguasa. Ingat! Bung Karno membacakan proklamasi karena desakan para pemuda. Anak-anak muda seperti kalian, tapi dengan semangat yang betul-betul berbeda...." Sindirnya.
Karena tidak ada reaksi dari penonton, Pak Rohman pun menyudahi pidatonya dengan salam. Kali ini hanya beberapa orang saja yang menjawab, itupun tidak kompak.
"Terima kasih buat Pak Abdurrohman, pejuang kita. Semoga nasihat Bapak bermanfaat buat kami semua, para generasi muda. Baiklah, acara selanjutnya... acara yang sudah kita tunggu-tunggu. HI BU RAAN...!" Sang presenter mengeja ucapannya untuk menarik perhatian penonton. Benar saja. Dalam sekejap terdengar sorakan gembira yang gegap gempita. Yang mengantuk terjaga, yang asyik WA-an dan BBM-an mengantongi kembali ponselnya. Bahkan yang mengejar Pokemon berhenti sejenak.
"Yeah... kita sambut dengan hangat... Merah Putih Band!" tiba-tiba latar panggung yang bergambar lukisan Indonesia tempo dulu disibak. Di baliknya telah siap sebuah band yang langsung beraksi. Seluruh personil band itu mengenakan seragam kombinasi warna merah dan putih. Sang vokalis muncul dari belakang panggung, dengan mengenakan tank-top, tanpa lengan dan tanpa krah berwarna merah dan celana super pendek dan ketat berwarna putih. Penonton bersorak dengan semangat. Apalagi ketika gadis itu membawakan lagu yang sedang populer, ditambah dengan goyang maut memabukkan.
Pak Rohman geleng-geleng kepala. "Masya Allah...!" Air matanya nyaris tumpah karena sedih. Samar-samar dia seakan melihat kawan-kawan seperjuangannya yang kini telah beristirahat di Taman Makam Pahlawan juga menangis bersamanya.
Anaknya memahami keadaannya. "Pak, sabar ya Pak...!" Teriak anaknya yang terdengar seperti bisikan. Kalah oleh suara musik yang binal.
Setelah lagu pertama selesai, sang vokalis berdialog dengan penonton. Tentu dengan gaya yang genit menggoda. Pak Rohman tidak tahan lagi. Tanpa memedulikan larangan anak dan cucunya, dia kembali naik ke atas pentas. Direbutnya mikrofon dari tangan si biduan.
"Andai kami tahu sejak awal... bahwa kemerdekaan hanya disyukuri dengan hal-hal seperti ini...," Pak Rohman berusaha berbicara dengan lantang, meski suaranya serak karena usia tua dan air mata yang tertelan di tenggorokan. Penonton terdiam, terkejut dengan aksi yang di luar dugaan ini.
"Andai kami tahu dari dulu bahwa sang saka merah putih lama kelamaan akan dilecehkan anak cucu sendiri... kalau kami tahu bahwa dengan dijajah kecintaan kami pada negri ini menjadi lebih tulus...," Pak Rohman mulai menangis sedih, namun kata-katanya tetap tegas."Maka lebih baik... kita tidak usah... MERDEKA!!" Teriaknya lantang.
Kemudian lelaki itu jatuh tersungkur dan tidak pernah bangun lagi.
                                                           
                                                                                               




Cerpen Reuni

HONA... OH HONA
By Fera Andriani Djakfar


“Mah, malam ini Ayah keluar sama teman-teman lagi, ya?” Pamit suamiku.
“Iya sana!” Jawabku dingin. Toh dia gak bakalan bisa dilarang kemauannya. Sejak bertemu kembali dengan kawan-kawan SMP-nya hampir setiap hari dia keluar rumah untuk bertemu teman-temannya. Kalau aku mulai marah dan curiga, dia hanya tunjukkan HP-nya agar aku membaca sendiri ribuan chat di akun Whatsapp-nya.
“Apaan ini? Pake Bahasa Madura, lagi. Tambah bikin bete, tau...!” ujarku yang kadang sampai ngambek. Tapi dia malah terus-terusan tertawa dan asik dengan HP-nya. Aku yang asli Sunda dan sama sekali tidak mengerti Bahasa Madura jadi semakin sumpek.
“Gak ke cafee kok Mah, Cuma ke Hona aja...,” ujarnya.
“Hona tuh mana? Restoran Jepang? Awas ngabisin duit lagi!” Ancamku. Sebab kemarin aku temukan struk pembayaran berbagai minuman dan kue di sebuah coffee shop terkenal di Mall.
“Nggak, deh. Dijamin super ekonomis kalau di Hona,” katanya.
Aku pura-pura sudah tidur. Setelah kudengar motornya berlalu, segera aku beranjak menuju meja kerja suamiku untuk menyalakan laptop. Sudah lama aku ingin mencari tahu tentang “Hona” ini. Sebab dari ribuan chat di HP suamiku, Hona selalu menjadi trending topic. Apalagi salah satu temannya, selalu berteriak dalam chating-nya: Hona... Hona....!
Aku buka mesin pencari Google dan menulis kata kunci: Hona
Google menjawab, “Mungkin yang Anda maksud Honda
Kalau Honda mah aku juga tau, Gel... ujarku dalam hati dengan kesal sambil terus menekan “enter” untuk memastikan bahwa memang “Hona” yang aku cari.
Tak lama kemudian.... muncullah berbagai gambar dengan keyword Hona yang semakin membuatku panas hati. Ada gambar beberapa wanita cantik disana. Fraulain Hona, Hano Hona, Hona Sanjaya, dan banyak lagi. Ada juga beberapa judul film India. Hona Tha Pyaar, juga Kahona Pyaar Hai. Semua menampilkan wanita-wanita cantik dan sexy.
“Ya Allah... beri hamba petunjuk.... Hona manakah yang sering dikunjungi suami dan kawan-kawannya?” Aku menangis sendiri. Kuintip kedua anakku masih tidur pulas di kamar mereka. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, dan suamiku belum datang juga. Akupun tertidur dengan kegundahan yang semakin menjadi.
“Mah... bangun Mah...!” Suamiku membangunkan.
“Apa? Jam berapa ini?” Tanyakuk masih dengan rasa kantuk yang amat sangat. Juga kepala terasa pusing dan berat karena beban pikiran sebelum tidur yang kubawa ke alam bawah sadar.
“Jam satu malam. Lagi ngerjakan apa kok laptopnya nyala?” Tanya suamiku. “Udahan, belum nulisnya?”
“Haah!!” astaghfirullah... segera kumatikan laptop di meja. Mudah-mudahan suamiku tadi tidak melihat apa saja yang kubuka di internet. Kulihat dia sudah terlelap dengan senyum mengembang. Betapa bahagianya dia memalui malam ini bersama teman-temannya... dan si Hona itu.
*********
Pagi ini, aku niat ngambek. Ya, betul-betul keterlaluan sudah. Aku yang rela belasan tahun meninggalkan keluarga besarku untuk ikut suami ke Madura, akhirnya harus disia-siakan seperti ini. Biasanya aku menyiapkan sarapan untu keluarga. Pagi itu sehabis shalat Shubuh aku tidur lagi. Gak peduli sama anak-anak, toh mereka sudah besar-besar. Yang paling kecil aja sudah kelas dua SD dan biasa mandi sendiri, sarapan sendiri. Biasanya tugasku mengantar anak ke sekolah. Tapi biarlah pagi ini ayah mereka yang mengantarkan. Toh anak juga anak bersama. Dia bersenang-senang semalaman bersama Hona, sekarang rasakan akibatnya. Kutarik selimut lebih rapat, dan tidur. Meskipun tidak nyenyak juga karena ini melawan kebiasaanku.
Kudengar sayup-sayup dari balik selimut anak-anak menanyakanku.
“Mamah kenapa Yah? Sakit ya Yah?” tanya anak bungsuku.
“Iya, sudah jangan ganggu Mamah. Biarkan Mamah istirahat!” Ujar suamiku sambil menguap. Mungkin dia masih mengantuk. Naluri keibuanku tidak tega membohongi anak-anakku. Tapi ini demi memberi pelajaran ayah mereka agar tidak seenaknya saja.
Awalnya aku pura-pura tidur, tapi akhirnya pulas juga. Kamar sudah terasa begitu gerah. Rupanya hari sudah siang. Badanku pegal-pegal sungguhan. Bukannya kecapekan, tapi karena kurang gerak. Selama ini yang membuat para ibu rumah tangga lebih sehat adalah karena banyak gerak. Dari mulai berjalan ke tempat belanja, masak, mencuci, dan sebagainya. Karena suasana begitu sepi, kukerjakan juga kewajibanku yang terbengkalai.
Di atas meja makan ada sebungkus nasi yang masih terbungkus rapi. Di sekitarnya ada tiga bungkus yang berserakan. Rupanya suamiku membeli sarapan nasi bungkus, dan menyisakan satu untukku. Habis berapalah itu semua? Mungkin menghabiskan jatah belanja sehari hanya untuk belanja sarapan. Pikiran ekonomis keibuanku berjalan.
Di sekitar kamar mandi baju-baju kotor anak-anak masih berserakan. Biasanya ketika adzan Dzuhur berkumandang aku sudah selesai mengambil baju dari jemuran. Kutinggal shalat Dzuhur, lalu melipat baju atau menyetrika. Sekarang adzan sudah berkumandang dan akupun belum mulai mencuci. Sungguh ngambek itu ternyata menyiksa diri sendiri. Hhfffhh...!!!
“Assalamu’alaikum, Mah...!” suamiku datang. Sebagai seorang wiraswatawan memang datang dan perginya tidak bisa diprediksi, tidak seperti orang kantoran yang jadwalnya rutin. Bahkan kata suamiku, salah satu temannya di grup SMP juga, ada yang pada jam tertentu pasti sedang berada di KRL.
“Waalaikum salam...!” Jawabku dengan suara diserak-serakkan.
“Oiya... anak-anak tadi pulang pagi karena guru-gurunya ada acara. Terus mereka aku titipkan di Mbak Dewi.” Rupanya dia mengira aku sakit sungguhan dan menitipkan anak-anak di rumah kakak perempuannya.
“Oh, iya gak apa-apa. Lagian besok kan tanggal merah, libur.”
“Iya. Trus, nanti malam kita juga biar punya waktu untuk jalan berdua aja.”
Gak salah, nih? Biasanya jalan sama teman-temannya terus akhir-akhir ini... Tapi aku tidak mengucap kalimat itu. Aku hanya mengangguk saja.
*********
Rasanya tidak sabar menunggu malam. Aku tidak tahu kemana suamiku akan membawaku. Apa jangan-jangan dia membawaku ke Hona? Untuk dibanding-bandingkan, gitu? Ohh... aku tidak bisa membayangkan harus bagaimana jika bertemu wanita itu nanti. Terbayang di Google semalam tentang berbagai sosok Hona.
Aku berdandan semodis mungkin, dengan pakaian ala hijaber terbaru. Idenya kudapat dari rancangan Saskia Sungkar, yang membuat aku tampak lebih muda beberapa tahun jika memakainya. Make-up yang kupakai juga yang spesial kupakai ke acara resepsi.
“Alamaak... ke Hona pakai kayak gitu?” Pekik suamiku kaget melihat penampilanku. Tuh kan benar dugaanku. Dia akan mengajakku ke Hona idolanya.
“Emang kenapa?” Aku melotot sewot. Kulihat dia mengulum senyum, lalu memotretku. Pasti deh dikirim ke teman-temannya di grup WA heboh itu, pikirku. Tapi kali ini aku yakin aku tidak kalah dengan si Hona.
Suamiku mengajak naik motor keliling menikmati suasana malam liburan, lalu berhenti di selatan alun-alun kota Bangkalan. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Udara mulai terasa dingin menusuk, dan akibatnya perut pun makin terasa lapar. Aku heran karena suamiku dari tadi mau mengajak makan di Hona, tapi kok sampai jam segini masih belum mengajak juga? Bisa jadi setelah melihatku berdandan dia jadi berpikir dua kali. Jangan-jangan sekarang dia berpikir Hona yang minder padaku. Hhhh... rasakan, kau Hona!
Setelah memarkir motor, suamiku menggandeng tanganku menuju sebuah tempat makan lesehan. Ya, sebuah lapak sederhana beralaskan tikar. Rupanya ada beberapa orang disana yang sedang asik makan. Aroma teri goreng dan sambal menusuk hidung, menyerang rasa lapar yang tertahan sejak tadi. Setelah kami duduk, suamiku memesan dua porsi. Lalu dia mengajakku selfie. Wah, pasti lagi-lagi mau dikirim ke teman-teman hebohnya,
“Mah, disinilah ayah dan teman-teman cangkruk sampai malam.”
Aku celingukan, mencari wajah-wajah yang kulihat di Google semalam. Kulihat penjualnya, seorang wanita tua yang ramah dan cekatan meladeni para pembeli.
“Ini pesanan sampean Nak...,” kata penjual itu. Suamiku yang menerimanya.
“Makasih, ya Mak Hona!” Ujar suamiku.
“Apaaa??” ucapku kaget.
“Kenapa? Kaget, ya setelah lihat Miss Hona? Hehe...” Goda suamiku. “Makanya Mah, jangan keburu curiga dulu. Itu lho yang namanya Mak Hona.”
Aku tersipu malu. Mungkin semalam dia memergoki yang kucari di internet. “Ayah juga sih... seru-seruan sama teman-temannya terus...” Ujarku dengan memelas. Andalanku untuk meluluhkan hati suami.
“Duh... cup-cup yaa... Ayah minta maaf deh. Iya, ini kan lagi seneng-senengnya ketemu teman-teman. Mamah pasti juga akan begitu kalau sudah reunian.” Ucapnya sambil mengelus-elus kepalaku. “Ayuk dimakan... gak enak tuh dilihat sama ‘saingan’ Mamah,” bisiknya sambil melirik ke Mak Hona yang mungkin karena kecapekan dengan nyaman dia merebahkan diri di atas tikar. Posisinya seperti putri duyung yang terdampar di pantai. aku senyum-senyum sendiri membandingkannya dengan berbagai Hona di Google semalam.
Ternyata tidak salah kalau suami dan teman-teman sangat suka nongkrong disana. Suasana malam yang dingin berdansa dengan hangatnya nasi dan teri goreng bersanding sambal. Kami pun puas bercanda dan bercerita, hingga suamiku sempat lupa dengan HP-nya. Setelah dilihat, ada 479 chat di grup WA-nya. Tapi itu tidak lagi menggangguku. Sebab ternyata yang membuatnya asyik selama ini bukan apa yang dia makan, bukan siapa yang melayani dia makan, tapi kebersamaan dengan kawan-kawan itulah yang memperindah suasana.
Tiba-tiba HP-ku berdentang tidak seperti biasanya. Kulihat secara mendadak ada puluhan notifikasi WA, lalu segera jadi ratusan. Rupanya seorang kawan memasukkan aku ke sebuah grup.
“Ya Allaah... Yaaah... ini kan teman-teman SMA mamah? Ya Ampuun... nih ada si Atun, Iche, ya Allaah....hihi..” Akupun asik berbalas canda. Tak kuhiraukan lagi suamiku yang juga sik dengan HP-nya. Toh inilah gaya pasangan zaman sekarang..., mau gimana lagi??
Tak terasa Mak Hona permisi akan menggulung tikarnya.

                                                                Bangkalan, 15 Agustus 2016
       Buat teman-teman SMP 2 alumni’95 yang sedang dimabuk "Hona"