Minggu, 07 Juni 2015

Cerpen Islami Inspiratif

Kaos Kaki di Meja Makan


“Jadi, gitu ya teman-teman. Selama seminggu aja, kok.” Lulu mengakhiri pembicaraannya. Dia minta izin teman-teman sekontrakannya untuk mengajak ponakan kecilnya tinggal bersama mereka selama kurang lebih seminggu karena ditinggal orang tuanya pergi umroh.
“Ya ampyuun, Lulu. Kirain ada apa, gitu loh. Kalo Cuma ngajak ponakan ke kontrakan kita mah gak rempong…! Jangankan seminggu, setahun pun gak masalah. Anak kecil ini,” komentar Rida si anak gaul.
“Iya, tapi kalian gak tau anak macam apa si Cici itu….” Ujar Lulu dengan nada pasrah. “Andai Mamahku gak ikutan bareng umroh sama Kak Halim sekeluarga, mendingan si Cici kutitipkan Mamah. Tapi nih semuanya pergi umroh rombongan. Kak Halim, Mbak Nilam istrinya, mertuanya, dan Mamah. Cuma aku aja yang gak diajak.”
“Yach, belum taqdirmu aja, Lu. Ibadah umroh sama haji itu kan urusan taqdir,” Ujar Nella dengan bijak. Diantara empat orang di rumah kontrakan itu, Nella yang paling dewasa sikapnya.
“Iya, taqdirku jagain si Cici.” Komentar Lulu pasrah.
“Hm… maaf ya Lu. Emangnya si Cici itu anaknya gimana? Hm… nakal ya?” Tanya Memey penasaran. Mata sipitnya makin sipit. Nama aslinya Maimunah, tapi karena mirip dengan Memey di serial Upin Ipin, jadilah sekarang dia dipanggil Memey. Apalagi sama-sama kutu buku dan suka ceroboh.
“Malah sebaliknya! Anaknya tuh beda. Umur delapan tahun, tapi kayak orang dewasa gitu sikapnya. Kalo aku nginep di rumah mereka tuh ya, rasanya kayak di tempat tentara latihan. Jam segini gini, lalu gitu, trus kegiatan ini itu… pokoknya padat deh. Kakakku aja yang dulu waktu belum nikah malesnya minta ampun, sekarang udah ketularan anak dan istrinya yang gak bisa diem itu…,” Cerita Lulu.
“Waah… harusnya kamu tuh lebih lama tinggal bareng mereka Lu. Biar sembuh juga malesmu… haha… peace Mbak Bro…!” Komentar Rida ceplas-ceplos dan baru berhenti setelah dicubit oleh Lulu. Memang diantara mereka berempat Lulu yang terkenal paling malas dan ceroboh. Disusul oleh Memey. Sama-sama suka ngambek juga.
“Masbuloh…!!??” Lulu sewot.
“Udah, udah! Ya mestinya kan enak ya teman-teman. Kita kedatangan teman kecil yang lucu, semoga jadi hiburan buat kita selama beberapa hari ke depan. Emang kapan dia datang kesini Lu?” Tanya Nella.
“Besok aku pulang dulu, ada selamatan di rumah untuk rombongan umroh ini. Trus lusa pagi-pagi banget aku ikut ngantar rombongan ke bandara, habis dari sana aku sama Cici langsung diantar kesini. ” Lulu menjelaskan. Jarak dari rumah kontrakan itu ke rumah Lulu sekitar lima puluhan kilometer. Lulu memilih tinggal di kontrakan yang dekat kampus dari pada tinggal di rumah mamanya tapi harus terburu-buru untuk berangkat kuliah. Padahal sepeninggal papanya, mamanya hanya tinggal seorang diri. Mereka hanya dua bersaudara, Halim dan Lulu. Untung Halim sekeluarga tinggal hanya beberapa ratus meter dari rumah sang mama.
“Sip markusip… berarti lusa Cici sudah disini. No worries Lulu chayank… kita gak apa-apa, keleus...! Ntar Cici bisa milih mau bobo dimana. Kayaknya lebih memilih kasurku yang kayak tempat tidur beneran. Dari pada kasurmu yang kayak terminal itu…haha…” Ujar Rida terus menggojlok kecerobohan Lulu.
Rumah kontrakan itu ukurannya cukup besar, terdiri dari dua kamar yang berukuran luas. Bahkan di dalamnya muat untuk tiga kasur spring bed sekalipun. Tapi sudah menjadi aturan bersama yang sudah mereka sepakati, jika ada anggota keluarga perempuan yang mau menginap di sana karena sedang berkunjung atau keperluan lain, harus sepengetahuan dan seizin teman satu kontrakan. Kalau tamu laki-laki hanya boleh duduk di teras depan. Selama setahun lebih kebersamaan ini aturan tersebut selalu mereka patuhi bersama. Lulu sekamar dengan Rida, Nella sekamar dengan Memey.
*********
Hari yang dinantikan pun tiba. Kebetulan semua anggota rumah sedang tidak punya jadual kuliah siang itu. Mereka penasaran dengan sosok Cici yang membuat Lulu tantenya sendiri merasa kurang nyaman. Tak lama berselang sebuah mobil mewah besar berhenti di depan rumah kontrakan. Tampak Lulu turun bersama seorang anak perempuan yang membawa sebuah kopor besar.
“Eh… kopornya segitu besar? Emangnya anak itu mau umroh juga apa ya?” Celetuk Rida. Nella memberi isyarat agar kawannya diam, takut terdengar oleh Lulu atau bahkan Cici sendiri.
“Assalamu’alaikum…!” Lulu menguluk salam. Teman-temannya membalas sekedarnya karena perhatian mereka terfokus pada gadis cilik berjilbab itu.
“Hai… ini pasti yang namanya Cici ya? Met ciyang…! Kenalin ya, akooh Kak Rida.” Rida memperkenalkan diri dengan lincahnya. Cici hanya memandang kearah gadis yang menyapanya. Dari penampilan dan wajahnya, seolah seperti gadis cilik pada umumnya. Tapi sorot matanya… sangat berbeda.
“Assalamu’alaikum, Kak Rida!” Sapa balik Cici sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman, dengan penampilan sangat bersahaja. Rida jadi kelimpungan. Biasanya dia yang paling berkuasa di segala suasana.
“Mati kutu loh…! SKSD, sih…!” Bisik Memey padanya sambil mentertawakan Rida yang memang suka Sok Kenal Sok Dekat. Mungkin untuk pertama kali inilah Rida tampak canggung bertemu seseorang yang baru dikenalnya. Dan itu pemandangan lucu bagi sahabat-sahabatnya.
Setelah semuanya bersalaman dengan Cici, mereka semua masuk ke ruang tamu. Sementara Lulu membawa kopor keponakannya ke dalam kamarnya.
“Hm… jadi gak masuk sekolah nih selama papa sama mama umroh?” Tanya Nella untuk mencairkan suasana. Karena sahabat-sahabatnya tiba-tiba jadi penakut dan bernyali kecil untuk bicara.
“Gurunya diminta libur sementara,” jawab Cici. Yang lain tampak keheranan. “Saya tidak bersekolah di lembaga apapun. Saya menjalankan homeschooling,” lanjut Cici lagi. Ketika mengatakan “homeschooling” lidahnya sudah seperti orang bule.
“Oooh…!” Nyaris serentak para gadis itu ternganga.
Pantesaan… lha kalo gaya gini mah gimana mo punya temen di skolah? Batin Rida.
“Ehm… maaf Kakak-kakak, saya permisi dulu mau menata barang-barang saya.” Cici berlalu dengan sopan dan anggunnya menuju kamar tantenya. Rida langsung mengekor di belakangnya, diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain. Mereka penasaran dengan barang-barang bawaan Cici.
Untunglah ada Lulu di kamar itu, sehingga pembicaraan agak cair. So far so good, tidak ada yang aneh dengan kehadiran Cici di rumah kontrakan itu. Apa sih yang bisa diperbuat oleh seorang gadis cilik yang membawa kopor besar berisi tumpukan buku tebal dan sebendel kertas origami, asturo, gunting, cutter??? Setidaknya seharian itu. Karena esok paginya….
*********
“Memey… Nella… bangun…!!” Rida membangunkan tetangga kamarnya. Nella pun membuka pintu dengan mata masih setengah tertutup dan terus menguap.
“Emang sudah subuh, ya?” Tanya Nella sambil terus menguap. Biasanya dia sudah bangun, tapi tadi malam ternyata masih mengerjakan tugas sampai larut.
“Beluuum… tapi akooh sudah dibangunin sama si Polici…!”
“Polisi? Ada apa?” Memey ikut nimbrung. Mata sipitnya tiba-tiba melebar. Jangan-jangan selama ini dia hanya menyamar bermata sipit.
“Itu, si Cici. Duh, sekarang akooh panggil si polici aja deh kalo lagi gak ada si Lulu. Ini jam segini dia udah ribut. Enak-enak tidurin dibangunan…!”
“Hush! Enak-enak tiduran dibangunin… dasar anak gaul kebablasan kamu Rid. Ya syukurlah biar kita bisa tahajud. Ayolah, toh demi kebaikan kita juga,” ujar Nella mengakhiri aduan si Rida. Mereka pun shalat Tahajjud di kamar masing-masing. Ketika menjelang Shubuh….
“Kakak-kakak… ayo sini shalat berjemaah!” Cici mengetuk pintu kamar Nella dan Memey. Penghuninya sedang terkantuk-kantuk menunggu adzan.
“Ayo Kakak… pahalanya lebih afdol dua puluh tujuh derajat lho ya…!” Cici terus mengetuk pintu. Nella dan Memey pun pergi ke kamar sebelah. Mereka pun berjemaah berlima. Biasanya sih  mereka sholat sendiri-sendiri. Yang bangun duluan sholat duluan, trus bangunin yang lain.
Yach, apa salahnya sih berubah menuju hal yang lebih baik? pikir mereka. Ternyata dengan berjemaah serasa ada yang berbeda. Apalagi setelah sholat bersalam-salaman. Jujur saja, meskipun setahun sudah mereka bersama, tapi jarang sekali mereka saling bersalaman kecuali Nisfu Sya’ban dan lebaran.
Sehabis sholat Shubuh para gadis itu terkantuk-kantuk dan tertidur di kamar masing-masing. Hingga….
“Nella… Mey… bangun dong!” Kali ini Lulu jadi duta ke kamar sebelah. Dua sahabatnya terbangun sambil menguap menahan kantuk.
“Ada apa lagi sih Lu?” Tanya Memey.
“Ehm… tentang rumah ini. Jangan kaget, ya… ponakan tersayangku bikin ulah,” ujar Lulu pelan.
“Apa Lu? Kenapa? Kebakaran ya? Banjir air kran??” Tanya Memey bertubi-tubi menyebut berbagai kemungkinan.
“Ya gak segitunya, kelleeus…!” Lulu sewot. “Dah, liat aja sendiri. Pokoknya pesanku, jangan marah sama Cici. Bisa-bisa uang sakuku dipotong sama kakakku!”
Tiba-tiba rasa kantuk Nella dan Memey hilang. Mereka segera keluar kamar, mencari-cari apa ada hal yang aneh. Sepintas terlihat sama saja, semua benda masih menapak di lantai. Tapi, di dinding….
YOU ARE WHAT YOU THINK![i]
Di ruang tamu terdapat tempelan slogan tersebut, terbuat dari kertas Asturo pelangi berwarna cerah. Font yang dipakai sangat pas, guntingannya sempurna. Para gadis itu terperangah. Kejutan tidak berhenti di situ. Di setiap saklar, terdapat berbagai tulisan kecil di bawahnya. Kali ini masih di kertas Asturo, tapi ukurannya kecil dan tulisan memakai spidol.
“Save Energy, Save Money, Save Earth!”[ii]
Seakan masih baru pindahan, para gadis itu berkeliling ke seluruh ruangan dan mencari-cari tulisan lain. Di pintu kamar mandi, juga terdapat tulisan:
“Orang Bijak Memakai Air dengan Bijak”
Mereka geleng-geleng kepala. Kapan si Cici melakukan itu semua? Pasti saat mereka tertidur manis sehabis Shubuh tadi.
“Assalamu’alaikum, Kakak-kakak…!” Sapanya. Wajahnya tampak segar. Padahal tadi malam ketika Lulu pamit tidur, Cici belum mau tidur. Dan Cici pula yang bangun terlebih dahulu membangunkan seisi rumah dengan ajakan Tahajjudnya. Mulai terasa bahwa gadis cilik ini berbeda.
“Maaf kalau saya tidak sopan, Kakak.” Katanya sambil tersenyum. Ya, awalnya Memey mau protes. Dia paling tidak suka ada tempelan-tempelan di mana-mana. Tapi permohonan maaf Cici begitu tulus.
“Saya suka peraturan,” katanya lagi. “Dan sejak saya datang kemarin, saya perhatikan di rumah ini minim aturan.”
“Braak…!!” Ada yang runtuh di hati para penghuni kontrakan, tepat setelah suara lembut Cici berkumandang. Lembut, tapi meledakkan. Seperti ranjau dalam semangkuk es krim. Lulu merasa sangat tidak enak. Tapi dia bersyukur sudah pernah memberi gambaran sosok Cici pada para sahabatnya.
“Kemarin siang saat saya datang, beberapa lampu masih menyala. Sewaktu saya ke kamar mandi, air di bak mandi meluap-luap dan sepertinya Kakak-kakak tidak panik menghadapi itu semua. Berarti ini sudah biasa,” Cici terus berkomentar. Membuat nyali semua gadis di sekitarnya ciut.
“Hm… sorry ya. Saya ada kuliah pagi. Mau mandi dulu…,” Nella pamit.
Macacih? Perasaan kita masuk siang, kelleus…!” Ujar Rida yang satu jurusan dengan Nella. Dia tidak paham bahwa  pamitnya Nella hanya untuk mengalihkan suasana. Dia baru sadar setelah Nella mengedipkan mata. Memey pun juga berpamitan. Tinggal Lulu yang masih mematung di sebelah keponakannya.
Duh, baru hari kedua Cici di sini sudah seperti ini suasananya. Batin Lulu. Tapi untuk mengungkapkan protes apa-apa dia tidak berani.
*********
“Sebeeeel…! Rasanya akooh tuh kayak bukan sekamar sama anak kecil. Tapi kayak sama nenek-nenek mantan tentara, gitu.” Rida mengungkapkan perasaannya. Dia lebih betah berada di kamar Nella dan Memey. Dia bercerita kalau setiap tindakannya dikomentari. Mulai dari bangun tidur disuruh baca doa, mau masuk kamar pakai salam, pakai kaki kanan duluan untuk masuk kamar, dan sebagainya.
“Pokoknya ‘Afgan’ banget dah tuh anak dalam berkomentar!” Tambahnya. Yang dia maksud adalah “sadis”, judul lagu populer dari Afgan. Tak lama Lulu pun masuk, dan dengan lagu lama. Permintaan maaf untuk segala yang diucapkan dan dilakukan keponakannya. Para sahabatnya menanggapi lagu lama itu dengan komentar aus pula. Itu-itu aja dialog mereka.
*********
Di hari yang lain, Rida datang dengan baju yang super kotor bertaburan tepung. Bau amis telur pun sangat menyengat hidung seluruh penghuni rumah sejak Rida masuk.
“Apa-apaan sih Rid?” Tanya Memey melihat kondisi Rida. Yang ditanya malah tertawa gembira.
“Nih habis ngerjain di Tania yang lagi ulang tahun…,” dengan penuh semangat Rida bercerita tentang kejutan yang dia siapkan untuk Tania, temannya di satu jurusan. Yaitu dengan melempar telur dan menghambur-hambur tepung di gerbang kampus sepulang kuliah. Tak lama kemudian Nella pun datang dengan kondisi yang sama. Keduanya bercerita dengan tawa gembira. Hingga tak lama kemudian…
Innal mubadzdziriin, kaanuu ikhwaanas syayaathiinwa kaanas syaithoonu lirobbihi kafuuroo,” Cici muncul di dekat mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat mubadzir alias pemborosan adalah saudaranya syetan. Dan syetan itu sangat ingkar kepada Tuhannya…”
Kerumunan yang sedang berbahagia itu pun bubar.
*********
Keesokan harinya, para gadis datang dari kampus dengan mengendap-endap. Sejak kedatangan Cici mereka seperti bukan di rumah sendiri. Andai bukan musim presentasi dan mendekati ujian akhir semester, mereka memilih izin kuliah dan pulang sementara ke rumah masing-masing. Rupanya Cici tidak ada di rumah itu. Kemudian ada BBM dari Lulu kalau dia dan keponakannya sedang berada di plasa terdekat.
“Eh, ternyata suka ke plasa juga ya si Polici. Kirain cuma ke masjid sama perpustakaan doaang,” komentar Rida.
Siang itu mereka bisa sedikit santai tanpa ada yang mengomentari setiap gerak-gerik dan ucapan mereka. Mereka sangat merindukan suasana seperti ini, kemerdekaan yang hilang beberapa hari. Hingga tak lama kemudian…
“Assalamu’alaikum…!” Terdengar ucapan salam dari luar, suara Lulu dan Cici.
“Waalaikum salam…!!” Memey dan Rida menjawab sambil kelabakan. Persis seperti pedagang kaki lima illegal yang mendengar sirine satpol PP. Karena mereka tadi masuk rumah dalam keadaan capek pulang kuliah, sehingga barang-barang bawaan, kertas-kertas fotocopy, jilbab, semua berserakan di ruang tamu dan ruang tengah. Sebelum sempat Rida dan Memey beres-beres, Lulu dan Cici keburu masuk. Dia menahan tawa melihat kepanikan kawan-kawannya. Memey merasa aman karena dia mengira sudah menyelamatkan barang-barangnya. Tapi ternyata, Cici Polici lebih teliti.
Astaghfirullaaah…Kakak…!! Ini kaos kaki siapa di meja makan!!? Dzolim…dzolim…meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya…!” Cici berteriak. “Tuh, mahasiswa! Tahunya demooo aja kalau ada yang kurang beres dari pemerintah. Padahal ngurus diri sendiri aja gak becus!” Tampak sekali emosinya sangat bergejolak.
“Sayang… iya iya itu salah. Tapi gak usah segitunya doong…!” Lulu mengingatkan keponakannya. “Ntar kepalanya pusing lagi, lho. Tadi kan Tante ajak senang-senang ke Mall, eh malah gini lagi.”
Cici lalu diajak Lulu cepat masuk kamar. Semua sahabatnya saling berpandangan, mencari tau kaos kaki siapa yang bertengger dengan manisnya di meja makan.
“Hm… itu  kaos kakiku. Tadi kan pulang kuliah kebelet pipis… trus ya keburu-buru deh lempar kaos kakinya.” Memey buka suara yang disambut dengan “huuu…” panjang dari kawan-kawannya. Ini bukan yang pertama. Memey memang suka lalai dan pelupa. Handphone-nya aja sudah pernah kena giling di mesin cuci gara-gara masih ada di saku baju kotornya yang sedang dicuci. Tapi teriakan Cici tadi sangat meresap di otaknya. Mudah-mudahan saja jadi shock terapi.
Lulu keluar dari kamar. “Maaf ya teman-teman… ya gitu itulah.”
*********
Malam ini Malam Jum’at. Lulu mengundang kawan-kawannya untuk ke kamarnya. Sebab Rida pun sudah mengungsi ke kamar Nella dan Memey. Katanya, Cici mau minta maaf atas insiden tadi siang. Memey merasa nyalinya ciut karena takut ditanya siapa pemilik kaos kaki itu.
“Nggak, kok. Dia sudah gak ngungkit itu. Tadi Cici sudah menyampaikan salam minta maaf karena tadi terlalu kasar. Dia sadar kalo dia tuh perfeksionis, pingin semuanya sempurna. Tapi dia juga cepat menyadari kesalahan-kesalahannya. Sekarang dia ngajak Yasinan bersama di kamar. Mumpung malam Jum’at…,” Lulu menjelaskan.
Para gadis pun berkumpul bersama di kamar Lulu. Mereka mengaji Yasin bersama, ditutup dengan doa.
“Kakak punya doa dan harapan apa malam ini? Ayo kita aminkan bareng-bareng…,” ajak Cici. Suaranya lembut dan jernih, nyaris seperti anak kecil kebanyakan.
“OK. Aku duluan, ya.” Kata Lulu. “Semoga keluarga kami yang sedang umroh selalu dalam lindungan Allah dan segera pulang dengan selamat…!”
“Amiiin…!!!” Semua mengamini. Rida yang paling nyaring.
Sebab kalau keluarga besar Lulu sudah pulang, kan berakhir pula rezim si Cici? Hihi…! batin Rida.
“Semoga besok kelompokku bisa presentasi dengan baik…!” Doa Nella.
“Semoga aku segera dibelikan motor matic oleh ayah…!” Harapan Memey.
“Semmogah akooh segera dapat transferan uang dari mamah…!” Doa Rida. Sekarang giliran Cici yang belum mengungkapkan harapannya. Semua mata memandangnya. Cici sedang menengadahkan wajah sambil memejamkan mata dengan khusyuknya. Dia berdoa dengan sepenuh hati, suaranya bergetar.
“Ya Allah… semoga Yayasan Daarul Qur’an bisa membangun kembali Rumah Tahfidz di Gaza yang kini telah hancur oleh roket Israel…!”
“Buummm!!” Seakan-akan roket Israel menghantam para gadis itu karena kagetnya. Anak sekecil itu, dengan doa seperti itu. Sementara mereka hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri saja.
Ah, betapa egoisnya kami ini. Pikir Nella.
Malam itu suasana kembali cair. Mereka berbicara dengan santai, karena Cici ternyata juga bisa menempatkan diri sebagai tamu dan anak kecil. Rida pun pulang kembali ke kamar itu. Dia asyik mengobrol dengan Lulu dengan bahasa gaul dan alay yang sedang popular.
Sementara Cici sedang membaca buku “I Am Malala” yang tadi siang baru dibelinya di Mall. Buku  yang isinya kisah nyata gadis usia 15 tahun, Malala Yousufzai dari Pakistan yang ditembak Taliban dalam perjalanannya menuju sekolah. Kisah inspiratif tentang sulitnya perjuangan mencari ilmu bagi sebagian orang.

“Kamu tuh kok woles bingids… sih Rid. Kayaknya gak pernah ngerjakan tugas kayak Nella gitu. Santaaaii… terus!” Lulu mengomentari sahabatnya.
“Mending woles, keleus… dari pada stress. Kalo masih kurang seminggu tuh, belum muncul ide untuk bikin tugas. Yang penting buku-buku rujukan sudah tersedia semua. Ntar kalo udah kurang sehari, nah itu baru muncul dah idenya.”
“Kak… pakai teori The Power of Kepepet aja, Kak!” Cici ikut nimbrung.
“Haallooh… apacih itu?” Tanya Rida.
“Itu buku bestseller karya Jaya Setiabudi. Intinya, SEBELUM KETERDESAKAN YANG SESUNGGUHNYA DATANG SEBAIKNYA KITA MEMBUAT KETERDESAKAN DIRI SENDIRI. Untuk masalah Kakak, tanamkan dalam hati dan pikiran Kakak bahwa besok adalah deadline tugas itu. Agar Kakak merasa terdesak, dan bisa muncul ide…,” Cici memberi kuliah.

“Iya juga, ya. Akooh coba ya. Capa tau bisa muncul ide. Makacih, Adek…!”
“Dan, satu lagi Kak. Juga buat Tante Lulu nih,” Cici menutup buku yang sedang dibacanya dan serius menatap dua gadis di depannya.
“Tahukah Tante, Kak Rida, apa penyebab kegagalan Kongres Pemuda yang pertama di tahun 1926?”
Keduanya menggeleng. Mereka bahkan lupa Kongres Pemuda itu yang mana, berapa kali.
“Saat itu kongres Pemuda yang dihadiri Jong Java, Jong Sumatra, dan sebagainya, masih bersifat kedaerahan dan mementingkan golongan. Beda dengan Kongres Pemuda Kedua.”
Ciyuus miapah…?” Rida nyeletuk.
“Dalam Kongres Pemuda kedua, mereka sudah menyadari betul arti persatuan dan kesatuan bangsa. Makanya berhasil merumuskan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu BAHASA….” Cici menjelaskan panjang lebar dan memberi penekanan pada kata Bahasa. Tapi Lulu dan Rida masih memasang tampang lugu, belum mengerti kemana arah pembicaraan Cici. Gadis kecil itupun mulai gemas.
“Intinya Kakak, Tante… Bahasa Indonesia itu hasil perjuangan panjang. Bukan hasil orang iseng. Makanya jangan nodai dengan bahasa-bahasa gaul, alay, yang gak jelas sumber dan tujuannya itu…!” Ujar Cici ketus kemudian dia melanjutkan membaca.
Uuppss…! Batin Rida. Dia berjanji akan berhati-hati lagi agar tidak menggunakan bahasa gaul lagi. Setidaknya di depan Cici, hehe.

*********

Mestinya masih tersisa dua hari Cici tinggal bersama Lulu. Tapi ternyata di rumah Cici kedatangan tamu keluarga besar mamanya yang akan mempersiapkan kedatangan para jemaah umroh. Maka tadi siang secara mendadak dan terburu-buru, Lulu membantu keponakannya berkemas lalu ikut pulang bersama Cici. Mobil mewah yang dulu mengantar kedatangan Cici sekarang sudah siap menjemput. Cici berpamitan pada sahabat-sahabat tantenya. Begitu mobil sudah berlalu….
“Merdeka…!!!” Rida memekik keras. “Huhh… akhirnya aku bisa berbuat apa aja seperti dulu. Lega…,” ujar Rida.
“Eh, kok cara bicaramu beda sekarang? Biasanya ‘aku’ kamu ucapkan ‘akoooh’ kayak orang habis nelan biji kedondong.” Komentar Nella.
“Iya, ya?” Rida juga heran. Biasanya dia akan menimpali dengan “Macacih?
“Gitu lebih baik, Rid. Capek, tau dengerin kamu ngomong bahasa gaul gitu.” Memey ikut komentar.
“Kok kalian selama ini diem aja? Kalo bukan ditegur Cici ya aku mana tau kalo bahasa kayak gitu bikin orang lain gak nyaman,” ujar Rida. Sebenarnya dia ingin berhenti mengucapkan kata-kata alay. Sebab tanpa sengaja dia pernah presentasi di hadapan dosen dan teman-temannya, dan istilah-istilah alay pun terlontar spontan. Itu membuat dosennya kelihatan kurang suka.
“Hm… mau apa ya sekarang?” Memey tampak bingung. “Padahal selama ada Cici kemarin-kemarin rasanya aku ingin copot tuh semua tempelan kertas di dinding. Tapi dipikir-pikir, kok sayang ya? Malah harusnya untuk aku lebih banyak lagi tempelan untuk mengingatkan. Misalnya di mesin cuci diberi tulisan ‘Periksa saku pakaian sebelum dicuci’, gitu kan biar gak kejadian lagi hp-ku rusak,” ujarnya.
“Iya juga. Kalau aku rasanya kemarin-kemarin ingin tidur sepuasnya, bangun sepuasnya seperti sebelum kedatangan Cici yang sebentar-sebentar ngetuk pintu. Ngajak jemaah-lah, ngaji bareng-lah, doa, atau apa. Tapi sekarang ini kok rasanya sayang ya kalau kebanyakan tidur? Apalagi kalau sholat sendirian. Rasanya gak enak banget. Sudah biasa jemaah, sih.” Nella pun berkomentar.
Rida menuju lemari es untuk minum. Biasanya dia membuka kulkas dengan tangan kanan, sehingga tangan kiri yang meraih botol minuman dan langsung meminumnya sambil berdiri dengan pintu kulkas masih terbuka. Kali ini….
“Kakak… duduk. Minumnya pakai tangan kanan. Mau jadi temennya syetan minum pakai tangan kiri?” Rida bersuara kecil menirukan Cici. Dia lalu duduk dan menikmati minumannya setelah menutup pintu kulkas. Nella dan Memey tertawa mendengar ucapan Rida.
“Ternyata tanpa kita sadari kita banyaaak belajar dari Cici,” ucap Nella. Para sahabatnya setuju. “Kayaknya aku bakalan kangen sama anak istimewa itu.”
“Gimana kalo ntar keluarga Lulu datang dari umroh, kita ziarah ke sana?” Usul Memey.
“Oiya, ya. Ide bagus tuh!” Semua setuju.
*********

Beberapa hari kemudian, tiga sahabat itu mengunjungi keluarga Lulu yang datang umroh. Setelah mengunjungi Mama Lulu, mereka minta diantar ke rumah orang tua Cici. Lulu menggojloki sahabat-sahabatnya yang akhirnya merindukan Cici juga.
Di rumah Cici, rupanya masih banyak tamu, yang tempatnya dipisah antara tamu laki-laki dan tamu wanita. Mbak Nilam, kakak ipar Lulu menyambut mereka dengan hangatnya. Dia berterima kasih pada mereka yang telah menerima Cici dengan baik. Setelah tamu-tamu wanita pulang, barulah pembicaraan tentang tanah suci beralih pada sosok Cici.
“Gimana? Kaget gak ketemu Cici?” Tanya Mbak Nilam.
“Hm… iya sih Mbak. Anaknya luar biasa…,” jawab Nella.
“Super cerdas, Mbak.” Memey menambahkan. Rida juga menambahi kata-kata senada.
“Alhamdulillah… Cici itu anak gifted. Anak berbakat luar biasa. Dia juga bisa disebut anak indigo…,” Mbak Nilam menjelaskan.
“Ooh… iya. Saya juga sempat mengira begitu. Cuma kirain anak indigo cuma ada di kota-kota besar saja,” komentar Rida.
“Apa itu berarti Cici bisa melihat hal-hal gaib gitu, Mbak?” Tanya Memey.
“Tidak selalu begitu. Tapi saya sudah persiapkan mentalnya jika suatu saat dia bisa melihat hal-hal seperti itu. Saat ini dia baru pada taraf bisa merasakan dan menebak kepribadian orang yang ditemuinya,” jelas Mbak Nilam. “Yang saya utamakan sekarang adalah pengendalian emosinya. Karena dia tidak bisa tinggal diam melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Akibatnya dia suka marah, emosi, dan berakibat buruk ke kesehatannya. Apalagi anak-anak indigo jarang sekali tidur.”
“Oooh…,” para gadis itu ternganga. Mereka pasti sudah dinilai habis-habisan oleh Cici. Mereka jadi merasa malu, karena pasti Cici sudah bercerita banyak tentang kekacauan di rumah mereka pada mamanya. Tapi Mbak Nilam mencairkan suasana dengan mengobrol hal yang lain, masih sehubungan dengan anak indigo. Juga bercerita bagaimana dia dulu pertama mendeteksi keistimewaan Cici.
“Trus sekarang mana Cici?” Memey mencari-cari.
“Tuh, nemui tamu-tamu papanya,” Lulu menunjuk pada sisi teras rumah yang lain tempat para tamu pria.
“Teman-teman akrab papanya ya para dosen, wartawan, aktivis… bersama merekalah Cici betah ngobrol,” jelas Mbak Nilam. “Bisa jadi kalian adalah teman termudanya saat ini.”
Kemudian Lulu memanggil keponakannya untuk menemui sahabat-sahabatnya. Wajah Cici tampak jauh lebih ceria. Mereka pun mengobrol hal-hal yang ringan-ringan saja. Seputar oleh-oleh apa yang dibawakan orang tuanya untuk Cici, bagaimana kesehatannya, dan sebagainya.
Waktu berpamitan pun tiba. Sebelum pulang, Nella meminta Cici untuk memberi nasehat penting buat mereka. Awalnya Cici menolak, tapi mereka terus mendesak.
“Baiklah, Kakak-kakak. Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang sangat berbahaya, bahkan bisa menjadi sumber kerusakan di muka bumi ini.” Ujarnya. Para pendengarnya penasaran.
“Yaitu, kaos kaki di meja makan!” Ucap Cici. Memey langsung pucat.
Perasaan kaos kakiku gak kotor-kotor amat, deh. Masa segitunya jadi sumber kerusakan di bumi??? Pikir Memey dengan sedihnya.
“Maksudnya adalah, penempatan sesuatu yang bukan pada semestinya. Jika diperluas lagi, bisa diartikan menempatkan orang bodoh pada posisi yang bukan keahliannya. Menempatkan dana tertentu pada proyek yang salah, menempatkan orang yang tidak amanah pada jabatan penting, dan masih banyak lagi. Saya yakin Kakak-kakak kan mahasiswi yang cerdas!” Cici mengakhiri kuliah sorenya.
Para gadis itu mendengarkan dengan seksama. Baiklah, mereka berjanji tidak ada lagi kaos kaki di meja makan.☺


info anak gifted dan indigo, kunjungi:
http://www.asianfanfics.com/story/view/357966/6/babk-kel-5-11-babk



[i] Kamu adalah apa yang kamu pikirkan
[ii] Hemat energy, hemat uang, selamatkan bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar