Kamis, 10 Maret 2011

Cerpen Romansa


Romansa Terpasung
Fera Andriani Djakfar

Lima menit lagi pukul lima sore, saat dibukanya tirai berwarna hijau muda di balik kaca ruang ICU. Berarti tidak lama lagi kami bisa melihat kondisi Abah yang sedang tergolek lemah karena serangan jantung. Aku segera mengambil posisi di dekat jendela agar pandanganku nanti tidak terhalang orang lain yang juga ingin melihat keluarganya yang sedang dalam perawatan intensif.
Kulihat adikku sedang menenangkan putri kecilnya yang rewel. Di hari Minggu ini peraturan rumah sakit agak longgar, sehingga keponakanku yang masih balita itu bisa ikut membesuk kakeknya. Ah, putri kecil yang lucu. Putri dari adik perempuanku. Sementara aku sendiri masih berstatus lajang. Perawan tua, tepatnya.
"Sreeet…!" Samar sekali suara tirai yang dibuka perawat. Namun cukup mengagetkanku yang sedang menempelkan muka di jendela kaca, tak sabar ingin segera melihat kondisi Abah.
Dari luar ruangan, kulihat Abah masih memejamkan mata. Tapi tampak di layar monitor tekanan darah dan gelombang detak jantungnya mendekati normal. Selang oksigennya juga sudah dibuka. Tidak seperti kemarin sore sewaktu baru masuk rumah sakit. Itu cukup menenangkanku, sedikit mengobati rasa bersalah karena kemarin Abah kambuh setelah mendengar ancamanku.
Aku mundur sedikit, memberi kesempatan pada adikku dan suaminya untuk melihat kondisi Abah.
"Nah, itu Kakek. Coba panggil! Kakek, ayo cepat sembuh…!" Ujar adikku pada putrinya yang berusia dua tahun.
Kapan aku bisa memberikan cucu pada Abah? Ah, sepertinya Abah sendiri yang tidak menginginkan cucu dariku.
                                               
                                                            *********
"Jadi, intinya Abah tidak setuju?" tanyaku.
"Bukan tidak setuju. Tapi belum saatnya Abah untuk setuju."
"Belum saatnya? Abah, tolong pertimbangkan lagi. Umurku sudah tiga puluh dua tahun. Jadi kalau Abah mengatakan bahwa belum saatnya aku menikah, itu lucu! Sekarang saja statusku sudah perawan tua, Bah!"
"Cukup, Lena! Jangan membuat Abah marah. Bisa-bisa jantung Abah kumat!"
Aku hanya bisa menangis. Begitulah senjata Abah jika sedang berseteru dengan anak-anaknya. Dan yang paling sering adalah berdebat denganku karena dari ketiga putrinya, hanya aku yang masih tinggal di rumah orang tua. Setelah ibu meninggal dua tahun lalu, kedua adikku yang semuanya sudah berkeluarga keberatan jika aku meninggalkan Abah meski dengan selusin pembantu. Akupun menuruti keinginan mereka meskipun sebenarnya membeli rumah sendiri aku sudah mampu.
Perdebatan orang tua dan anak memang lumrah. Tapi aku merasa benar-benar terdzalimi oleh orang tuaku sendiri. Aku selalu dipojokkan, terutama soal jodoh.
Dulu sewaktu masih kuliah S1, ada seorang kawan yang ingin menjalin hubungan lebih dekat denganku. Tapi Abah dan Ummi melarang, karena sebagai anak sulung yang harus jadi teladan bagi adik-adik, aku wajib menyelesaikan kuliahku tanpa terganggu. Aku pun menuruti keinginan mereka.
Setelah aku lulus S1, kembali seorang kawan lelaki ingin melamarku. Akan tetapi orang tuaku tetap melarang, dengan alasan aku harus mengambil kuliah program magister dulu. Hingga kuliahku selesai, pintu izin menikah belum dibuka oleh orang tuaku. Alasan mereka, aku harus bekerja dulu. Itu cukup masuk akal, karena orang tuaku adalah tokoh masyarakat. Keluarga kami sering menjadi tolak ukur kesuksesan bagi penduduk sekitar.
Namun aku heran. Mengapa hanya aku yang mengalami hal ini? Adikku yang nomor dua menikah di usia dua puluh empat tahun tanpa harus bekerja maupun meneruskan kuliah S2 terlebih dahulu. Saat itu usiaku dua puluh tujuh. Aku hampir panik karena terlangkahi. Tak lama kemudian adikku yang bungsu bertunangan, dan menikah setahun kemudian. Hal itu makin menambah kepanikan karena rasa-rasanya usiaku merangkak semakin cepat menuju kepala tiga.
Kini usiaku tiga puluh tiga tahun, telah menjadi dosen di sebuah universitas ternama sambil mengambil program S3. Kuharap setelah aku meraih gelar Doktor, pintu izin itu akan dibuka oleh Abah. Tapi rupanya belum ada sinyal yang menandakan dibukanya harapanku.
Sudah banyak pria yang melamarku, tapi ditolak oleh Abah dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Beliau selalu berkata, "Belum saatnya."
"Lalu kapan waktunya, Abah? Aku malu, Bah. Setiap bertemu kawan lama, tidak ada yang bertanya titel atau pekerjaanku. Semuanya bertanya, 'Suami orang mana? Sudah punya momongan berapa?' Aku tidak muda lagi, Bah." Ratusan kali aku mengatakan hal itu padanya. tapi hanya dijawab dengan diam, gelengan kepala, atau kalimat andalannya, "Belum saatnya."
 Untungnya masih juga ada perjaka shalih dan baik hati yang mau menikahiku di usiaku yang ketigapuluh tiga ini. Dosen baru di universitas tempat kami mengajar itu datang pada saat aku sudah putus asa. Di saat aku nyaris memutuskan untuk membujang saja selamanya. Muhammad Abduh namanya. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Kudengar dari kawan-kawan, dia tipe perfeksionis dalam segala hal, termasuk urusan jodoh. Itu membuatnya termasuk telat menikah. Aku tak menyangka ternyata akulah yang memenuhi kriteria calon istrinya.
Mas Abduh pun ke rumah untuk menyampaikan niat sucinya. Kuharap kali ini Abah dapat menerimanya. Karena dari segala segi, Mas Abduh sangat ideal sebagai menantu dan suami. Tapi tak kusangka, jawaban Abah masih sama. Lelaki idamanku pun pulang dengan gontai dan mengusung kekecewaan.
"Dek Lena,  besok atau lusa tolong tanyakan kembali pada Abah. kapan tiba saatnya? Maaf, Dek! Mas juga selalu didesak keluarga besar." Itu pesan Mas Abduh ketika kuiringi kepergiannya keluar dari gerbang rumahku sesaat setelah penolakan Abah. Aku hanya bisa mengangguk dan tertunduk. Aku tak kuasa memandangnya, takut semakin memupuk cinta yang tak bermasa depan cerah ini.
Setiap hari, tanpa bosan kutanyakan hal yang sama pada Abah. Namun jawabannya juga masih sama. Itu membuatku stres. Aku berubah jadi sosok introvert, menarik diri dari lingkungan sekitar.
Hingga kemarin sore kutemukan cara jitu untuk "mengancam" Abah.
"Abah, Mas Abduh tanya lagi. kapan saatnya? Sebab kalau masih lama atau jawaban Abah masih sama, dia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Kalau sampai itu terjadi, mungkin aku memilih mati saja!" Kataku dengan ketus. Barangkali baru kali ini aku berbohong dan berkata kasar. Dan tidak tanggung-tanggung, objek pelampiasannya adalah orang tuaku sendiri.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Abah mendengar kata-kataku, karena aku membelakanginya dan asyik memangkas tanaman hias di halaman rumah kami. Tiba-tiba terdengar bunyi berdebum. "Buuk!" Tubuh Abah tersungkur ke tanah. Kedua tangannya mencengkeram erat dada kirinya. Serangan jantung.
"Budhe... kakek cakit apa?" Pertanyaan keponakaanku membuyarkan lamunanku.
"Sakit jantung, Nduk. Sininya yang sakit. doakan, ya!" Jawabku sambil memegang dadanya. Tak lama kemudian tirai ICU kembali ditutup, bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib. Aku turun sejenak untuk shalat di mushalla rumah sakit.
                                                           
                                                            *********
"Mbak, cepat ke ICU! Abah sudah sadar. Kata perawat, beliau mau ketemu Mbak Lena. Jadi orang lain ndak boleh masuk." Kata adikku berapi-api sewaktu kami berpapasan di pintu lift.
Aku bergegas menuju ruang ICU. Di depan pintu seorang perawat sudah menyambutku.
"Saudari Lena? Mari ikut saya ke dalam!" Ajaknya. Aku pun mengikutinya memasuki ruangan yang sejuk dan kedap suara itu. Dia memberiku baju khusus, lalu menyuruhku mencuci tangan di wastafel dengan sabun antiseptik. Kulakukan semua dengan tergesa, ingin segera melihat Abah dari dekat.
Kemudian kudekati tempat pembaringannya. Suster di sana menarik tirai yang menyekat pembaringan Abah dengan pasien di sebelahnya. Kini kami serasa hanya berdua saja di ruangan itu.
"Lena, sebentar lagi saatnya tiba." Abah membuka pembicaraan. kulihat layar monitor, gelombang detak jantungnya naik turun tidak teratur. Tekanan darahnya pun meningkat. Kupikir belum waktunya untuk membicarakan hal serius.
"Abah, Rasti dalam perjalanan. Di luar ada Leni dan anaknya. Lucu, lho Bah. Tadi nanya, Kakek cakit apa? " Aku menirukan ucapan keponakanku untuk menghibur Abah.
"Dengar, Lena. waktu Abah tidak banyak. Sekarang barulah Abah buka rahasia, kenapa selama ini kamu selalu kami tunda untuk menikah?"  Abah menarik napas. Ada air mata yang menggenang di matanya. "Kalau dipikir-pikir, Abah egois sekali ya Nduk. Abah takut menjadi rendah di mata orang-orang, sampai-sampai tega mengorbankanmu."
"Maksud Abah apa, to? Aku makin bingung."
"Abah dan Ummimu, dulu juga pernah muda. Pernah juga menjalani kisah cinta muda-mudi seperti anak-anak sekarang, karena kami tinggal di ibu kota. Pergaulan yang rusak itu membuat kami lepas kontrol. Maka jadilah kamu..." Cerita Abah menempeleng hatiku. Jadi... aku anak haram?? Aku ingin banyak bertanya, tapi kubiarkan Abah meneruskan ceritanya.
"Setelah itu, kami menikah. Abah harus bertanggung jawab. Demi menutup aib dan bertobat, kami merantau ke pulau ini dan tidak pernah lagi kembali ke Jakarta. Untuk menghapus jejak, di tempat baru ini kami memiliki semua dokumen baru yang sudah direkayasa tanggalnya. Buku nikah, akte kelahiranmu, KTP, semua hasil rekayasa. Rasa-rasanya semua akan baik-baik saja. Sampai... tiba waktumu menikah."
"Karena Abah tidak boleh menjadi wali nikahku?" Sebagai dosen Syari'ah aku paham maksud Abah.
"Abah terngiang ucapan Pak Penghulu yang menikahkan kami dulu. 'Kalau anak yang dikandung calon istrimu ini perempuan, ingatlah! Dia harus dinikahkan wali hakim, karena dalam Islam anak yang dikandung sebelum menikah dianggap tidak sah dan terputus nasab serta hak warisnya...!'"
Jadi itu masalahnya? Tanyaku dalam hati. Lidahku kelu dan pelupuk mata panas oleh air mata.
"Kalau Abah masih hidup, lalu kamu dinikahkan oleh wali hakim, apa kata orang?"
Apa kata orang lebih penting dari perasaanku, ya Bah? Protesku dalam hati.
"Abah selalu berharap segera mati saja agar kamu bisa cepat menikah dan aib kami tidak terbuka. Ternyata ibumu yang lebih dulu wafat. Kalau kisah ini terungkap, apa nanti kata orang setelah mendengar pembina pengajiannya pernah hamil sebelum nikah?"
"Ya, sudahlah Bah. Biar aku mengalah saja demi nama baik Abah dan Ummi."
"Tidak, Nduk. Kamu akan segera menikah karena Abah rasa-rasanya sudah tidak kuat lagi...!" Kemudian Abah bernapas dengan susah payah karena menahan tangisnya. Aku segera memanggil perawat yang segera memasang selang oksigen kembali. Keadaan Abah sangat kritis. Para perawat di ICU tidak mampu mengatasi, sehingga harus memberi kode biru pertanda meminta bantuan. Dari dalam ruangan kudengar sayup-sayup penggilan "Code blue ICU... code blue ICU!"
Para dokter dan perawat lain berdatangan, sehingga ruangan ini terasa sesak. Aku tersingkir ke pojok ruangan, tidak berdaya. Aku hanya mampu menangis. Entah menangisi apa. Kondisi Abah, ataukah romansaku yang terpasung ini?
Kulihat perawat memberi terapi kejut listrik pada dada Abah. Tapi sia-sia. Tak lama kemudian terdengar bunyi denging panjang. Di layar monitor hanya ada garis horizontal lurus. Abah meninggal dunia. Dan aku lagi-lagi hanya bisa menangis.
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada SMS masuk. Dengan pandangan berkabut karena air mata, kulihat nama Pengirim, Mas Abduh.
Ass!Dek Lena, maafkn Mas krn blm bs jenguk Abah.mlm ini Mas dijebak oleh keluarga bsr.shgg skrg Mas sdg dlm acr pertunangan.Sp cln istri Mas,kpn2 Dek Lena jg tau.mgkn momenx g'pas utk blg berita ini,tp mendingan Dek Lena sgra tahu dr Mas drpd dr org lain.smg Abah lekas smbh.Wass!
Tiba-tiba sekujur tubuhku mati rasa. Semuanya gelap. Yang kudengar hanya suara sayup-sayup, "Code blue ICU... Code blue ICU...!"
Madura, 16 Nov'08