Sabtu, 02 Desember 2023

Cerbung Palestina 2

 

Pelajaran Di Atas Lautan

 

Beberapa jam sebelum kapal berlabuh….

“Daratan… daratan…!”  Teriak seorang anak lelaki dengan riangnya, berlarian di sepanjang dek kapal dan  masuk ke dalam kabin yang berisi keluarga besarnya. Lalu dia berteriak memanggil kakak lelakinya. “Ehud, lihat… itu daratan. Kita hampir sampai….”

“Jangan berteriak, Yitzhak! Nanti nenek bisa terkejut mendengar suaramu,” nasihat kakaknya. Namun, perempuan tua bermata tajam itu rupanya terlanjur terkejut dan membuka matanya. Kondisi perempuan tua itu begitu payah, karena kapal yang mereka tumpangi terombang-ambing begitu lama di lautan. Beberapa Negara menolak kedatangan mereka. Dengan pelan, nenek itu duduk, lalu memanggil seluruh keluarganya untuk merapat di sekelilingnya.

“Apa yang akan Savta* sampaikan?” Tanya Yitzhak tidak sabar. Dia ingin segera keluar lagi melihat proses kapal berlabuh.

“Sebentar lagi kita akan sampai di tanah yang dijanjikan. Eretz Israel. Di sana kita akan mendirikan sebuah negara baru, khusus kita saja. Maka aku ingatkan kalian, jaga persaudaraan sesama kita, manusia pilihan Tuhan.”

“Tapi Savta, di daratan itu nampaknya sudah banyak gedung dan bangunan. Berarti di sana sudah ada yang menempati sebelum kita,” ujar Yitzhak. Bocah tujuh tahun itu memang cerdas dan suka bertanya.

“Itu nanti akan menjadi milik kita. Kalian yang harus bisa merebutnya dari penduduk sana. Mereka bukan manusia pilihan, bahkan bukan manusia!” Perempuan itu berbicara dengan berapi-api. Suara paraunya bersaing dengan deru mesin kapal uap. “Orang-orang itu layak dibunuh. Lakukan cara apapun untuk mendapatkan yang kita inginkan, demi Negara Tsiyonut impian…!” dengan semangat berkobar, perempuan enam puluh tahun itu berorasi di tengah keluarganya.

“Kenapa kita tidak bergabung saja dengan orang-orang itu?” Ehud mencoba bertanya seperti adiknya. Dia dua tahun lebih tua dari Yitzhak.

“Jika kalian menempati di sebuah rumah, apakah kalian mau tinggal bersama tikus dan kecoa?” Tanya si nenek tua kepada anak cucunya.

“Tidaak…!’ Jawab mereka serempak. Sangat kebetulan ada seekor kecoa melintas di dekat kaki si nenek tua. Segera dia ambil sebelah sandalnya, lalu menghajar kecoa itu dengan sekali pukul. “Beginilah yang harus kita lakukan pada mereka.”

Keluarga besar itu pun bersiap-siap untuk turun dari kapal dengan beberapa kopor kulit dan beberapa kantung pakaian. Hanya barang-barang itu yang bisa diselamatkan akibat pengusiran yang mereka alami di Eropa.

Sebelum Nazi menguasai Jerman, kehidupan keluarga Shimon dan Jemina cukup berada. Orang tua Yitzhak dan Ehud itu memiliki sebuah toko kebutuhan sehari-hari yang cukup besar. Kedua anak lelaki itupun sebelumnya bisa bersekolah dengan normal. Hingga tiba hari-hari buruk bagi komunitas Yahudi di Jerman, mereka diburu dan disiksa, sehingga memutuskan untuk ikut rencana relokasi ke luar Eropa. Mereka tidak tahu secara pasti akan kemana, tergantung negara apa yang mau menerima mereka.

Gambar ketika Yahudi diusir di Polandia. Sumber gambar: tirto.id


Tak lupa  Shimon menjemput Keset, ibunya, yang berada di permukiman kota lain. Keset tidak mau pergi kecuali Shimon mau mengajak adiknya yang bernama Beryl, beserta keluarganya. Beryl mempunyai istri bernama Mayim, dan seorang anak perempuan berusia lima tahun bernama Shira. Mereka berdelapan kemudian menyebut diri keluarga besar Chazan, untuk memudahkan pendataan di tempat baru nanti.

Dengan tidak sabar, Yitzhak keluar dari kabin dan melihat proses kapal merapat. Dari kejauhan dia melihat begitu banyak orang-orang di pelabuhan menyambut kedatangan mereka. Lalu dia berbisik pada Ehud. “Apakah kau mempercayai yang dikatakan Savta? Benarkah kita akan membunuh orang-orang itu nantinya?” Tanya bocah itu.

“Hm, mungkin akan sulit pada awalnya, tetapi kita akan terbiasa,” jawab kakaknya dengan ringan. Tiba-tiba Yitzhak merasa pusing dan mual. Jiwa murninya yang masih suci berperang dengan doktrin keluarganya.

“Dulu aku juga merasakan yang kau rasakan sekarang. Percayalah, nanti kau akan terbiasa. Ingat cita-cita kita untuk mempunyai Negara Tsiyonut,” Ehud menepuk pundak adiknya. Mereka kemudian kembali sibuk bergabung dengan keluarga besar Chazan lainnya, bersiap untuk turun dari kapal.

Begitu keluarga Chazan turun satu persatu dari kapal, seorang Arab menyambut mereka dengan sangat hangat.

“Marhaba… marhaba…!” ujar laki-laki tadi sambil membantu mengangkat koper. Dialah Qasim, sahabat Taher.


*Savta: Nenek dalam Bahasa Ibrani

Minggu, 26 November 2023

Cerbung Palestina 1

Source: https://www.expedia.com/pictures/middle-east/israel/haifa-port.d553248621558034722


1. Senja di Pelabuhan Haifa

“Apakah kau mau ikut ke pelabuhan?” Tanya Taher.

“Memangnya ada apa di sana?”

“Hm, kau terlalu banyak berdiam di rumah, Sayang. Tidakkah kau dengar berita bahwa hari ini ada kapal yang akan merapat?”

“Namanya juga pelabuhan, ya tentu saja banyak kapal merapat,” komentar Widad sambil melipat setumpuk pakaian di depannya. Suaminya pun tertawa, menyadari betapa dia tidak detil menjelaskan sesuatu.

“Kapal yang akan berlabuh ini berisi para pengungsi Yahudi dari Eropa. Ratusan orang berada di atas kapal itu, konon katanya mereka ditolak untuk berlabuh di manapun.”

“Jadi, mereka mau berlabuh di Haifa? Pilihan yang cerdas! Mungkin mereka tahu jika penduduk sini sangat pemurah dan melayani tamu dengan baik. Semoga saja mereka menjadi tamu yang tau diri, setelah diusir dari sana sini!” Ucap Widad ketus.

“Sayang, kamu kenapa kok kasar sekali? Ingatlah, namamu Widad, yang artinya cinta kasih. Janganlah kasar begitu, apalagi kau sedang mengandung anak kita.”

“Ya Allah, lindungilah dia, bahkan dari ucapan dan perbuatan burukku…!” Ucap Widad sambil mengelus perut buncitnya.

“Ayolah, ikut ke pelabuhan! Barangkali pikiranmu perlu penyegaran…,” Taher setengah memaksa. Widad pun tak bisa menolak lagi, dan dia rasa ini bukan ide yang buruk.

Sepasang suami istri itu berjalan santai ke pelabuhan, menikmati semilir angin di bulan Mei. Cuaca begitu cerah, menyisakan keindahan musim semi sekaligus penyambutan kepada musim panas. Haifa adalah kota pelabuhan yang tidak kehilangan keindahannya meski semakin hari kian ramai. Pesona laut Mediterania yang membentang luas di sebelah barat, dengan warna birunya yang begitu segar. Memandang arah lain, terbentang hijau kecoklatan gunung Carmel di sebelah barat daya hingga arah selatan, membuat kota Haifa semakin cantik seperti namanya.

source: https://photodune.net

Mereka berjalan melewati tanah lapang yang biasanya dipakai anak-anak remaja bermain bola. Betapa kagetnya ternyata di sana telah didirikan puluhan tenda. Penduduk setempat sibuk mempersiapkan alas, peralatan tidur, dan banyak yang berbondong-bondong mengantar makanan. Suasana sangat sibuk seperti menyambut tamu agung.

Begitu tiba di pelabuhan, sudah banyak pula penduduk yang berjejal di sana. Tampak mereka membawa pakaian, makanan, minuman, dan buah-buahan untuk menyambut para pengungsi. Taher menyesal tidak membawa apapun, tetapi Widad tidak. Dia memang sengaja pergi ke pelabuhan hanya untuk melihat kapal berlabuh, tidak lebih.

Dari kejauhan, kapal St Louis mulai merapat pelan. Di atas kapal, tampak para penumpangnya berjubel sambil melambaikan sebuah spanduk besar bertuliskan:




THE GERMANS DESTROYED OUR FAMILIES

AND OUR HOMES -  DON’T YOU DESTROY OUR HOPES

 

“Oh, lihatlah tulisan itu, Sayang!” Seru Taher. Istrinya hanya tersenyum sinis. Memang beberapa hari ini Taher sering bercerita bagaimana nasib para Yahudi di Eropa, nasib mereka yang terlunta-lunta, tetapi tidak sedikit pun yang meluluhkan hati Widad. Padahal Taher sangat mengenal tabiat istrinya yang selalu penuh kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan Allah. Ah, barangkali hanya bawaan jabang bayi saja, piker Taher.

Begitu kapal berlabuh sempurna dan jangkar telah diturunkan, para penumpang pun berhamburan keluar kapal. Penduduk Haifa pun menghampiri mereka, menyambut bagai saudara yang lama terpisah. Dari kejauhan Taher melihat sahabatnya, Qasim, sedang sibuk mengangkat koper milik para pengungsi. Begitu mereka berjalan mendekat, Taher pun menyapa dan bertanya apa yang sedang dilakukan sahabatnya.

“Aku akan menolong satu keluarga pengungsi ini di rumahku. Semoga jadi tambahan kebaikan bagiku dan keluargaku suatu hari nanti,” jawab Qasim dengan tulus. Di belakangnya ada satu keluarga terdiri dari seorang laki-laki yang tampaknya kepala keluarga tersebut. Di belakangnya ada seorang wanita tua yang lebih tepat menjadi ibu lelaki Yahudi tadi, seorang wanita muda yang tampaknya adalah sang istri, dan dua orang anak lelaki sekitar tujuh dan sembilan tahun. Mereka semua terlihat kelelahan dan dengan pasrah mengikuti langkah Qasim.

“Apakah kau bersedia melakukan hal yang sama, Sayang?”

“Apa? Menampung mereka? Oh, tidak akan pernah!” Sahut Widad ketus. Taher hanya menggeleng sambil menarik napas panjang menghadapi istrinya yang keras hati.

“Lihatlah para pengungsi yang lemah itu. Badan mereka kurus dan dekil, tampak sekali penderitaan yang berkepanjangan,” ujar Taher.

“Sudahkah kau tatap mata mereka, Taher? Tidakkah kau lihat pandangan licik mereka? Mungkin kau bilang ini konyol, tetapi aku punya firasat buruk. Ayo kita pulang saja,” Widad tampak kesal dan menggandeng suaminya pulang.

Karena terburu-buru, tanpa sengaja Widad menyenggol anak lelaki dari keluarga yang dibawa Qasim. Reaksinya sungguh di luar dugaan. Anak itu marah-marah sambil menangis dan menunjuk-nunjuk ke arah Widad. Keluarga Yahudi itu semuanya melotot dan mencaci dengan bahasa asing yang tidak dipahami Widad ataupun Taher.

“Tamu tak tahu diri…!” Balas Widad, kemudian segera Taher menggandengnya. Melihat kejadian itu, Taher mulai mempercayai firasat istrinya.

Lalu, bagaimana nasib Qasim yang terlanjur mengambil keluarga Yahudi itu untuk diselamatkan? Siapakah keluarga Yahudi yang diselamatkan Qasim itu?


Senin, 20 November 2023

Serial Addun dan Addin: Brownies dan Lego

 

Brownies dan Lego

Gambar dari https://indobrickville.com/everything-lego


Dengan wajah masam, Addun langsung nyelonong masuk ke rumah kontrakan Addin. Wajahnya kusut seperti sedang menahan kekesalan. Melihatnya, Addin segera memberi minum lalu bertanya.

“Ada apa, sih? Kok kayaknya lagi susah banget. Liburan masih panjang, lho!”

“Bukan susah, Din. Lebih tepatnya aku kesal, emosi, marah, tapi gak berdaya.”

“Hm… ada apa, sih?”

“Gini nih, aku kan lagi komentar di salah satu postingan tentang muallaf. Aku cuma nulis ucapan selamat datang kepada saudara baru, dan selamat mendapatkan hidayah, gitu aja sih. Eh, ternyata ada yang menanggapi, sepertinya dia nonis.*  Katanya, ‘Apaan hidayah? Agama ribet banyak aturan’, begitu tulisnya. Aku kan kesel banget, tapi mau membalas gak berdaya. Malah ada sedikit bisikan dalam hati, Eh, bener juga, ya. Banyak sekali aturan dalam Islam”, kata Addun dengan jujur.

“Istighfar dulu, Dun…!”

“Astaghfirullah…! Iya, aku sadar ini godaan setan. Akan tetapi, misalnya ada juga seorang muslim yang berpikiran begitu gimana? Merasa ribet lah dengan banyak aturan, ibadah ini itu, gak boleh ini itu…!”

“Oke, oke. Aku mau ngajakin kamu masak brownies, lalu kita main lego. Kebetulan Lego yang aku pesan sudah sampai dari kemarin, hanya saja belum sempat aku susun. Bantuin, ya. Deal?”

“Din, aku ini serius mau cari jawaban kok malah diajak masak-masak dan main-main.”

Namun, Addin seolah tidak mendengarkan protes Addun. Dia malah keluar rumah dan mengambil motornya. Mau tidak mau Addun pun ikut meski sambil bertanya-tanya apa maksud sahabatnya.

Tujuan pertama mereka ada sebuah toko bahan kue. Addin mengambil dua paket bahan brownies berbeda merk. Setelah itu, mereka kembali ke kontrakan Addin.

“Yuk, masak kue brownies, Dun!” Ajak Addin.

“Aku gak bisa, lah Din. Kamu sendiri bisa gak?” Addun balik bertanya.

“Sama, aku juga belum bisa,” jawab Addin dengan enteng.

“Lah terus ngapain kita nekad? Ayo bawa ke rumahku ajalah, minta masakin ke Bunda!”

“Eit, tenang dulu. Ini lho ada tutorial memasak di setiap kemasan. Kamu pilih merk A atau B?” tanya Addin.

Addun membandingkan dua kemasan yang sama-sama berisi bahan kue brownies. Dia membaca komposisi dan cara memasak yang ada di sana, lalu memilih salah satunya.

“Kenapa milih yang ini?” Tanya Addin menyelidik.

“Paket yang ini lebih lengkap, tutorialnya lebih detil, takaran untuk tiap bahannya jelas banget, pembagian waktu untuk tiap prosesnya jelas. InsyaAllah anti gagal, deh. Berbeda dengan yang satu lagi, gak jelas gitu. Bisa-bisa malah menyesatkan.”

“Bagus…!” Addin hanya berkomentar singkat. Addun sejenak bingung, kemudian asyik dengan resep di depannya. Acara mempersiapkan kue pun sukses, hanya tinggal menunggu matangnya brownies yang sedang dikukus. Mereka pun memasang alarm agar kue matang tepat waktu, dan terhindar dari insiden kue gosong seperti di film-film.

Sambil menunggu matangnya kue, Addin membuka kemas Lego yang baru dibelinya dan Addun merekam proses itu. Rekaman ini sangat penting dalam proses buka kemas, agar jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai pesanan, konsumen mempunyai bukti untuk mengajukan komplain.

Addin bersyukur karena pesanannya komplit. Ada beberapa kantong plastik berisi potongan lego yang dikemas sesuai kriteria tertentu dan diberi nomor urut, serta terdapat pula buku petunjuk. Lego pesanannya bertema arsitektur bangunan modern di perkotaan, lengkap dengan mobil, jalanan, dan berbagai rambu lalu lintas. Total ada 800-an  brick yang harus disusun.

Tak lama kemudian mereka asyik membentuk brick-brick lego itu menjadi berbagai macam bentuk. Aktivitas mereka terjeda bunyi alarm, pertanda brownies sudah matang. Sambil menikmati kue, mereka terus menyusun lego berdasarkan buku petunjuk.

sumber gambar dari https://www.palmia.co.id/resep/camilan/brownies-kukus-coklat


"Keren nih rumah...!" Seru Addun setelah berhasil menyusun bangunan lantai dasar. Pasti mahal ini harganya, Din." Komentar Addun yang hanya dibalas senyum tipis oleh Addin karena dia sedang asyik menyusun sebuah bus tingkat.

Ketika Addun sedang asyik menyusun bangunan lantai tiga, tiba-tiba Addin menyembunyikan buku petunjuk. Addun pum bingung bukan kepalang. Lantai tiga bangunan yang harusnya berisi kamar tidur, perpustakaan dan kamar mandi itu belum selesai dirakit. Dia mencari-cari buku petunjuk itu ke bawah meja ruang tamu, kolong tempat tidur Addin, bahkan ke dapur. Tempat sampah pun sempat diliriknya sekilas.

“Din, buku petunjuknya mana?”

“Buat apa?” Jawab Addin santai.

“Ya agar kita bisa menyusun lego ini dengan tepat, sehingga tersusun rapi semuanya sesuai aturan.”

“Jadi, menurutmu petunjuk dan aturan itu penting?”

“Ya iyalah…!”

“Tutorial untuk masak tadi juga penting?”

“Ya iyalah, buktinya kita bisa sukses memasak kue.”

“Nah, baru sebatas membuat kue dan menyusun lego saja kamu menyadari betapa  pentingnya aturan dan petunjuk yang detil. Bagaimana dengan menjalani hidup di dunia ini?” Addin melemparkan pertanyaan sambil menyerahkan buku petunjuk lego yang tadi dia sembunyikan.

Sejenak Addun terdiam, berpikir. Setelah itu dia mengangguk-angguk mantap.

“Yes, aku sudah dapat bahan untuk mendebat warganet tadi!”

“Stop, Dun. Sudah, gak usah debat begitu. Ujung-ujungnya akan memancing cyberbullying dan hanya bikin rame yang unfaedah,” jelas Addin.

“Hm, gak janji juga ya Din. Takutnya aku terpancing emosi, hehe.” 

Setelah hari menjelang sore, Addun pun pamit pulang dengan membawa sebuah pelajaran berarti, bukan sekedar memasak brownies dan bermain lego.

Bangkalan, 21 November 2023