Luka Merah Putih
Oleh Fera Andriani Djakfar
Setiap bulan Agustus, kawasan
perumahan yang ditempati Pak Rohman tampak lebih cantik. Jalanan dan selokan
menjadi makin bersih. Hampir tiap teras rumah dihiasi bunga-bunga yang berwarna
warni. Bendera-bendera kecil berwarna merah putih dan lampu-lampu hias menambah
semarak suasana perumahan tersebut. Tapi semua pemandangan yang tampak indah
itu tidak dapat menggantikan kegundahan yang dirasakan Pak Rohman. Beberapa
tahun terakhir dia mengidap sindrom tanpa nama yang selalu jatuh pada bulan
Agustus.
"Assalamu'alaikum...!"
Terdengar suara lelaki menguluk salam. Dengan tertatih, Pak Rohman bangkit dari
kursi goyangnya dan beranjak ke teras. Pada pagi hari dia memang berada di
rumah seorang diri karena anak dan menantunya bekerja, sementara cucu-cucunya
ke sekolah.
"Wa'alaikum salam...!"
Jawab Pak Rohman dengan suara agak bergetar. Maklumlah, pita suaranya sudah
usang, setua dirinya yang berusia lebih dari delapan dasawarsa. Pandangannya
juga sudah kabur, sehingga jika melihat sesuatu dia perlu memicingkan mata.
Juga kali ini.
"Mari silakan masuk. Ehm...
siapa, ya?"
"Saya Amin, Pak. Pengurus Karang
Taruna di kampung ini."
"O, iya. Ada perlu apa pagi-pagi
begini?" Tanya Pak Rohman.
"Saya ketua panitia kegiatan
bulan Agustus, Pak." Ucapan pemuda itu halus. "Teman-teman telah
sepakat untuk meminta Bapak agar berkenan mengisi acara di malam puncak
peringatan dirgahayu RI."
Ucapan pemuda tadi tak ubahnya lava
panas yang masuk melalui pendengaran, langsung ke hati dan membakarnya. Padahal
setiap tahun dia mendengar hal serupa.
"Apa yang bisa saya sumbangkan?
Menyanyi? Menari?" Selorohnya.
"Seperti tahun-tahun kemarin,
Pak. Bapak mengisi acara Nasihat Sang Pahlawan. Ya, Bapak ceritakan perjuangan
Bapak pada zaman penjajahan dahulu. Itu kan bagus buat memberi semangat kami
yang masih muda ini."
Pak Rohman tertawa sinis. Itu lebih
sopan dari niatnya semula yang ingin mencibir.
"Saya tidak bisa," jawabnya
singkat dan tegas.
Amin tampak kaget. Jawaban pria tua
di hadapannya benar-benar diluar prediksi. Kata teman-temannya, Pak Rohman
mudah dimintai tolong.
"Nasihat Sang Pahlawan. Siapa
yang dianggap pahlawan? Bapak?" Tunjuk Pak Rahman ke dada ringkihnya.
"Pahlawan anak-anak sekarang, Superman, Batman, Spiderman, Ultraman....
mana ada yang mau mendengarkan nasihat bapak?"
"Tidak semuanya begitu, Pak.
Saya jamin, acara Agustusan kali ini berbeda. Lebih ngindonesia, kok
Pak. Lagi pula sejak dibukanya Pasar Baru dan Plasa di seberang perumahan,
jumlah warga sini bertambah hampir dua kali lipat. Pasti banyak diantara mereka
yang belum pernah mendengar cerita dan nasihat Bapak, kan?" Pemuda tadi
terus berusaha meyakinkan. "Seperti usulan Bapak tahun lalu, acara malam perayaan
tahun ini dibuka dengan doa, lalu paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Raya."
"Oh, ya? Siapa yang menyanyikannya?"
Selidik Pak Rohman. Ada rasa bangga usulannya tahun lalu didengarkan. Dia
memang pernah protes mengapa acara peringatan dirgahayu RI hanya diisi dengan
menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer di kalangan anak muda saja.
Jangan-jangan mereka tidak hafal Indonesia Raya.
"Para pelajar usia SMP, Pak.
Cucu Bapak nanti juga kami ajak latihan."
Pak Rohman mulai luluh demi mendengar
penjelasan Amin. Apalagi selama ini pemuda di depannya dia kenal sebagai pemuda
yang santun.
"Seperti usulan Bapak pula,
insya Allah tahun ini tidak ada iuran yang memberatkan warga. Semua dana
Agustusan ditanggung oleh tim donatur yang terdiri dari para pejabat kampung
kita, juga ada sumbangan dari sponsor. Itu hasil lobi dari bapak-bapak di sini
juga."
Pak Rohman manggut-manggut. Tahun
lalu dia memang mengusulkan agar iuran wajib bulan Agustus ditiadakan saja.
Atau hukumnya diturunkan dari wajib menjadi sukarela. Itu mengingat betapa
banyak warga kampung itu yang hidupnya pas-pasan, seperti keluarga anaknya yang
dia tumpangi menghabiskan sisa umur.
"Ya sudah kalau begitu.
Bismillah, bapak akan maju seperti kemarin-kemarin."
"Waduh... terima kasih banyak,
Pak. Teman-teman panitia pasti senang mendengar hal ini. Kalau begitu, saya
mohon diri dulu, Pak. " Pemuda itu berdiri, menyalami Pak Rohman dengan
takzim, lalu mengucap salam.
Sementara Amin berlalu, Pak Rohman kembali
menekuni bacaannya. Di masa tua ini yang bisa dilakukannya hanya membaca dan
menulis. Di sore hari dia merawat tanaman hias yang ada di teras. Maklum,
rumah-rumah di daerah pemukiman itu saling berhimpitan sehingga masing-masing
keluarga tidak ada yang mempunyai halaman. Sebuah teras rumah yang mungil cukup
untuk menyalurkan hobinya pada tanaman seperti waktu di kampung dulu. Dia terpaksa
hijrah ke kota atas permintaan putri bungsunya setelah sang istri berpulang
lima tahun yang lalu.
Sejak tinggal di perumahan ini, tiap
perayaan malam kemerdekaan di bulan Agustus Pak Rohman selalu mengisi acara
rutin Nasihat Sang Pahlawan. Pada tahun-tahun pertama para audiens mendengarkan
dengan penuh perhatian. Namun tiga tahun belakangan rupanya mereka telah hafal
dengan cerita dan nasihatnya. Sudah jarang yang memerhatikan dengan seksama.
Kebanyakan mengobrol satu sama lain, kecuali para bapak yang duduk tepat di
depan panggung. Beberapa dari mereka pun terkantuk-kantuk. Namun begitu
menginjak acara selanjutnya, karaoke bersama, sontak mereka bersemangat kembali.
Itulah yang membuat Pak Rohman sakit hati. Tahun ini ditekadkannya untuk tidak
naik panggung lagi. Namun demi mendengar penjelasan Amin, dia menaruh harapan
agar tahun ini betul-betul ada perubahan.
*********
Hari demi hari berlalu, tibalah waktu
dilaksanakannya malam peringatan Kemerdekaan RI yang kesekian puluh. Pak Rohman
merasa cukup lega karena tahun ini memang tidak ada pungutan dana ini itu.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika anak dan menantunya sangat terjajah
dengan berbagai iuran. Mulai dari iuran menghias gang, dana perbaikan jalan,
dana perlombaan, sampai iuran untuk membeli tong sampah baru. Seolah keberadaan
sampah baru terasa di bulan Agustus.
Sore itu Pak Rohman menyempatkan diri
melihat persiapan panggung yang letaknya beberapa blok dari rumahnya. Dan
betapa terkejutnya dia setelah melihat dengan mata kepala sendiri, betapa
artistiknya panggung hiburan tahun ini. Latarnya berupa lukisan pada kain yang
sangat lebar, bergambar jalanan yang masih lengang dan belum beraspal. Di kiri
kanan dilukiskan beberapa orang pejalan kaki dengan menyunggi bakul.
Betul-betul menggambarkan Indonesia tempo doeloe. Suasana diperkuat
dengan diparkirnya sebuah sepeda kuno merk Hamburg
di atas panggung. Dia penasaran, siapa sih yang mempunyai ide kreatif seperti
ini?
"Nak, panggungnya bagus sekali,
ya!" Puji Pak Rohman dengan tulus pada salah seorang anggota Karang Taruna
yang sedang menata kursi. Pemuda itu membalas dengan senyum kecut.
"Iya, Pak. Memang
bagus...!" Ada nada ketus yang aneh, berlawanan dengan pujiannya. Pak
Rohman merasakan itu.
"Ide siapa ini?"
"Nggak tahu, Pak. Dalam rapat
kemarin tidak dibahas. Tadi sekelompok seniman ibu kota datang dan menata
panggung utama. Sisanya kami yang melengkapi."
"Jadi bapak-bapak sini yang
menentukan semua?"
"Begitulah, Pak. Bagaimana lagi?
Yang mendanai acara ini mereka juga."
"Susunan acaranya apa
saja?"
"Kami tidak tahu persis.
Beberapa acara dirahasiakan oleh bapak-bapak itu."
"Lho, kok gitu? Lalu sebagai
pemuda kalian berperan apa?"
"Ya, ngangkut barang-barang yang
diperlukan. Maklum, kami tidak ikut menyumbang dana, sih. Yang berduit yang berkuasa,
Pak.... kami aja penampilan dibatasi. Hanya sebentar saja yang boleh tampil! "
Ada kekesalan yang terselip dalam kata-kata pemuda itu. Pancaran yang sama juga
terbersit dari wajah-wajah panitia yang lain.
Pak Rohman miris mendengar hal itu.
Maksudnya ketika melontarkan ide agar dana Agustusan ditiadakan tak lain agar
acaranya cukup dilaksanakan dengan sederhana, namun khidmat. Bukannya bertambah
mewah dengan gejala dominasi dan monopoli seperti ini. Apalagi sampai mengebiri
kreativitas para pemudanya.
Dengan langkah gontai penuh kekecewaan, Pak
Rohman pulang. Bagaimanapun juga nanti malam dia harus tetap tampil sesuai
janjinya.
*********
Suasana Malam Peringatan Kemerdekaan
RI tahun ini sangat meriah dan terkesan glamour. Dendang lagu-lagu dengan
volume yang memekakkan telinga telah diperdengarkan beberapa menit setelah
adzan Maghrib. Para jemaah yang shalat di Mushalla kampung belum lagi
menyelesaikan dzikirnya.
Tak lama setelah itu Pak Rohman
datang ke acara bersama anak, menantu dan cucu-cucunya. Acara ini memang
diperuntukkan seluruh anggota perumahan tanpa terkecuali.
"Pak, nanti kalau penontonnya
cuek jangan marah-marah, lho. Ntar jantungnya kumat lagi!" Pesan putrinya.
Lelaki tua itu mengangguk. Keluarga besar itu memilih duduk di depan, dekat
dengan panggung.
Acara dimulai pukul setengah delapan
malam, mundur satu jam dari yang tertera di undangan karena Pak Lurah yang
sedianya membuka acara masih berada di tempat lain. Keterlambatan yang menyiksa,
namun telah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Budaya menghormati yang
terlambat.
Bertindak sebagai presenter, seorang
gadis yang tampil menarik, lincah, dan berpakaian seksi. Awalnya tidak ada
seorang pun yang mengenalnya. Namun lama kelamaan dari canda dan cara
membawakan acara, banyak yang mengenalinya sebagai salah seorang penyiar radio
lokal.
Acara diawali dari pembukaan dengan
membaca Basmalah, tidak ada doa mensyukuri kemerdekaan seperti permintaan Pak
Rohman. Kemudian pengumandangan lagu Indonesia Raya dan Gugur Bunga oleh
belasan pelajar berseragam sekolah menengah pertama. Para penonton yang memang
menyukai perubahan, terkesan dengan penampilan perdana kelompok paduan suara
dadakan itu. Entah bagaimana reaksi mereka tahun depan. Bisa jadi tidak sama
lagi, dirundung kebosanan. Acara selanjutnya sambutan-sambutan. Lalu tiba giliran Pak
Rohman. Ketika namanya disebutkan, sayup-sayup dia mendengar sorakan
"huuu" dari penonton. Tapi karena terlanjur dipanggil oleh pembawa
acara, dia pantang mundur.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi
wa barokaatuh...!" Pejuang 45 itu membuka dengan salam yang lantang.
Penonton menjawab dengan lantang dan kompak. Timbullah semangat Pak Rohman
untuk meneruskan aksinya. Dia mulai bercerita bagaimana dia dulu merobeki warna
biru yang ada pada bendera Belanda yang ditemukannya di jalan-jalan. Sehingga
kompeni marah karena dimana-mana sang saka Merah Putihlah yang berkibar.
"...namun karena bapak melakukan
ini di kampung-kampung, bapak tidak terkenal. Berbeda dengan kawan bapak yang
dengan berani merobek bendera Belanda yang ada di halaman hotel. Dia gugur
sebagai pahlawan yang diabadikan dalam film perjuangan...!"
Di bawah panggung beberapa remaja
berbisik. "Film perjuangan? Yang mana?"
"Mene
ge tehek?" jawab kawannya dengan bahasa gaul.
Pak Rohman masih meneruskan cerita
dan nasihatnya. Namun lama kelamaan semangat lelaki itu kendor karena satu
persatu audiennya mengobrol. Beberapa remaja, bahkan diantara mereka adalah
panitia, asyik bermain dengan gadgetnya sambil cekikikan. Pak Rohman sadar,
mungkin saatnya dia turun panggung. Padahal masih banyak yang ingin dia
sampaikan, terutama tentang pendidikan moral. Terakhir dia berpesan,
"Mestinya para pemuda kita harus lebih kreatif dalam membangun bangsa.
Berlatihlah dari membangun kampung sendiri. Jangan mau didikte oleh para
penguasa. Ingat! Bung Karno membacakan proklamasi karena desakan para pemuda.
Anak-anak muda seperti kalian, tapi dengan semangat yang betul-betul berbeda...."
Sindirnya.
Karena tidak ada reaksi dari
penonton, Pak Rohman pun menyudahi pidatonya dengan salam. Kali ini hanya
beberapa orang saja yang menjawab, itupun tidak kompak.
"Terima kasih buat Pak
Abdurrohman, pejuang kita. Semoga nasihat Bapak bermanfaat buat kami semua,
para generasi muda. Baiklah, acara selanjutnya... acara yang sudah kita
tunggu-tunggu. HI BU RAAN...!" Sang presenter mengeja ucapannya untuk
menarik perhatian penonton. Benar saja. Dalam sekejap terdengar sorakan gembira
yang gegap gempita. Yang mengantuk terjaga, yang asyik WA-an dan BBM-an mengantongi
kembali ponselnya. Bahkan yang mengejar Pokemon berhenti sejenak.
"Yeah... kita sambut dengan
hangat... Merah Putih Band!" tiba-tiba latar panggung yang bergambar
lukisan Indonesia tempo dulu disibak. Di baliknya telah siap sebuah band yang
langsung beraksi. Seluruh personil band itu mengenakan seragam kombinasi warna
merah dan putih. Sang vokalis muncul dari belakang panggung, dengan mengenakan
tank-top, tanpa lengan dan tanpa krah berwarna merah dan
celana super pendek dan ketat berwarna putih. Penonton bersorak dengan
semangat. Apalagi ketika gadis itu membawakan lagu yang sedang populer,
ditambah dengan goyang maut memabukkan.
Pak Rohman geleng-geleng kepala.
"Masya Allah...!" Air matanya nyaris tumpah karena sedih. Samar-samar
dia seakan melihat
kawan-kawan seperjuangannya yang kini telah beristirahat di Taman Makam
Pahlawan juga menangis bersamanya.
Anaknya memahami keadaannya.
"Pak, sabar ya Pak...!" Teriak anaknya yang terdengar seperti
bisikan. Kalah oleh suara musik yang binal.
Setelah lagu pertama selesai, sang
vokalis berdialog dengan penonton. Tentu dengan gaya yang genit menggoda. Pak
Rohman tidak tahan lagi. Tanpa memedulikan larangan anak dan cucunya, dia
kembali naik ke atas pentas. Direbutnya mikrofon dari tangan si biduan.
"Andai kami tahu sejak awal...
bahwa kemerdekaan hanya disyukuri dengan hal-hal seperti ini...," Pak
Rohman berusaha berbicara dengan lantang, meski suaranya serak karena usia tua
dan air mata yang tertelan di tenggorokan. Penonton terdiam, terkejut dengan
aksi yang di luar dugaan ini.
"Andai kami tahu dari dulu bahwa
sang saka merah putih lama kelamaan akan dilecehkan anak cucu sendiri... kalau
kami tahu bahwa dengan dijajah kecintaan kami pada negri ini menjadi lebih
tulus...," Pak Rohman mulai menangis sedih, namun kata-katanya tetap
tegas."Maka lebih baik... kita tidak usah... MERDEKA!!" Teriaknya
lantang.
Kemudian lelaki itu jatuh tersungkur
dan tidak pernah bangun lagi.