Hari Minggu tanggal 9 Juli 2023, saya mengisi pelatihan menulis yang diadakan oleh Pimpinan Cabang Fatayat NU Bangkalan. Sedikit informasi, Fatayat NU adalah salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama, sebagai wadah aktualisasi dan aktivitas bagi kalangan perempuan muda. Jadi, yang ada dalam benak saya, peserta pelatihan ini nantinya adalah para mahasiswi, pelajar, santriwati, ataupun ibu-ibu muda yang memang sudah memiliki kebiasaan menulis.
Dari sekian banyak bahan pelatihan menulis, salah satu pengurus Fatayat memberikan usul via WA agar saya mengisi tentang esai. Maka saya pun menyusun materi yang akan saya sampaikan dalam pelatihan, yaitu sekilas tentang artikel dan esai. Saya hanya menyiapkan poin-poin penting saja, dan berharap nanti akan ada pengembangan pada saat pelatihan berlangsung.
Hari H pun tiba. Fakhriyatun Nisa, salah satu panitia yang sudah saya kenal sejak lama, menghubungi saya agar menunda kedatangan ke lokasi hingga 1 jam dari jadwal semula, karena peserta berasal dari berbagai kecamatan yang jauh dari pusat kota Bangkalan. Saya yang sudah terlanjur keluar rumah, jadinya berkeliling kota dulu untuk berbelanja dan menyelesaikan beberapa urusan yang sedianya akan saya selesaikan setelah pulang dari mengisi pelatihan.
Sesuai janji, saya pun ke lokasi pada pukul 9 pagi. Setibanya di sana, rupanya panitia tengah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Dan memang benar, peserta belum banyak yang datang. Untungnya saya juga ada beberapa urusan yang harus diselesaikan via gawai, sehingga setengah jam saya tetap bermanfaat dan tidak terbuang percuma.
Sekitar pukul setengah 10, acara dimulai. Nisa bertindak sebagai MC, membawakan acara demi acara. Seremonial pembukaan ini dihadiri oleh Hj. Nur Anisah, ketua pimpinan Cabang Fatayat NU Bangkalan. Dalam sambutannya, Ning Anis, demikian beliau biasa dipanggil, menginformasikan bahwa pelatihan ini sudah sejak lama akan digelar. Namun, sayangnya respon anggota masih sangat minim. Banyak yang mengatakan tidak mampu menulis, merasa kesulitan, tidak sempat, dan banyak alasan lainnya. Hal itu tidak lepas dari latar belakang sebagian anggota Fatayat NU yang berasal dari pelosok desa, dan juga pendidikan yang tidak sampai perguruan tinggi. Bahkan ada peserta yang mengaku hanya lulus Sekolah Dasar. Itulah fakta-fakta yang tidak seperti perkiraan saya sebelumnya.
Ini yang kemudian menggelitik perasaan saya, sekaligus menjadi tantangan tersendiri. Ingin sekali saya mengubah paradigma tersebut, dan mengubah ketakutan akan menulis menjadi cinta dan hobi.
Untuk itu, saya hanya sedikit saja memberi materi yang sifatnya teknis. Saya lebih banyak memberikan motivasi dan kisah-kisah pribadi tentang keberkahan dari menulis. Alhamdulillah, acara dipandu oleh moderator yang juga penulis yang aktif, Ibu Eni Farihatin. Beliau sudah pernah menjadi juara even menulis di tingkat wilayah Jatim.
Rupanya gayung pun bersambut.
Para peserta mulai antusias bertanya, baik mengenai teknik menulis
maupun motovasi. Ada Mbak Diana yang bertanya bagaimana mengembangkan
outline atau kerangka karangan. Saya jawab, bahwa itu butuh latihan yang terus-menerus. Bisa dimulai dari latihan mengembangkan kalimat sederhana.
Contohnya,
kalimat "Ibu pergi ke pasar" dikembangkan menjadi "Pagi-pagi, Ibu pergi
ke pasar bersama adik." Kalimat ini masih bisa terus dikembangkan
menjadi "Pagi-pagi, Ibu pergi ke pasar bersama adik untuk membeli
sayuran... " dan seterusnya. Bahkan dari kalimat sederhana itu sudah
bisa dijadikan sebuah paragraf yang lengkap.
Menariknya, ternyata lebih banyak pertanyaan yang berkenaan dengan motivasi menulis.
Antara lain pertanyaan dari Mbak Uyunur Rohmatin tentang bagaimana menghilangkan rasa kurang percaya diri dalam menulis.
Saya
jawab berdasar nasihat dari buku yang pernah saya baca, "Send it and
forget it." Kirimkan dan lupakan. Itu adalah kutipan dari Mohammad
Diponegoro, dalam bukunya "Yuk, Nulis Cerpen Yuk!" Itu pula yang
menyembuhkan ketidakpercayaan diri saya dulu. Seringkali kita terjebak
oleh komentar orang lain. Apalagi di era digital saat ini, komentar
netizen bisa menjadi sangat kejam. Anehnya kita seringkali terusik oleh
satu saja komentar buruk yang mengkritik pedas ataupun mengejek, padahal
di sisi lain ada ratusan komentar yang positif dan memuji. Inilah yang
harus kita perangi, yaitu fokus pada tujuan, bukan komentar orang-orang
yang bahkan dia sendiri belum tentu menghasilkan karya.
Pertanyaan
selanjutnya dilontarkan oleh Mbak Uswatun Hasanah, bagaimana memotivasi diri
untuk menulis. Sudah lama dia ingin menulis, bahkan menjadi penulis,
tetapi apa yang harus dilakukan?
Untuk itu saya jawab dengan beberapa tips.
Pertama,
menulis tidak lepas dari membaca. Jika ingin menjadi seorang penulis,
maka seseorang harus banyak membaca, sesuai keinginannya ingin menjadi
penulis ber-genre apa. Fiksi, ataukah nonfiksi? Bacaan seseorang akan
memengaruhi hasil tulisan dia nantinya. Kedua, bergabung dengan
komunitas pencinta literasi agar bisa terkondisikan untuk membaca dan
menulis. Berada di lingkaran penulis akan membuat kita juga mencintai
dunia kepenulisan. Ketiga, harus istiqomah dalam menulis, walaupun
sedikit. Setiap karya besar pasti dimulai dari suatu hal kecil, yaitu
kalimat-kalimat awal sebuah tulisan.
Presentasi berlangsung |
Pertanyaan terakhir berasal
dari Mbak Hoiriyah, yang bertanya-tanya: "Bisakah orang seperti saya
menjadi penulis?" Sementara katanya, dia hanya lulusan SD, usia sudah 40-an, tidak
mengenal istilah-istilah ilmiah saat ini, dan banyak sekali mempunyai
tanggung jawab baik di keluarga maupun masyarakat. Apa yang bisa ditulisnya?
Saya jawab bahwa saat ini segmen pembaca begitu luas. Istilahnya, bahkan barang bekas pun ada pasarnya. Pasar Loak pun ada pembelinya. Maka, mulailah menulis dari hal yang disukai, atau sesuatu yang sangat dekat dengan dunia kita masing-masing. Saya ceritakan pula bahwa ada seorang sahabat online saya, namanya Mbak Siska Artati dari Samarinda. Mulai istiqomah menulis pada tahun 2020 ketika awal pandemi covid. Pada masa itu sebagian besar kita jadi banyak beraktivitas di rumah saja, termasuk Mbak Siska. Sebelum pandemi, Mbak Siska banyak melakukan aktivitas di luar rumah sebagai ibu rumah tangga, guru mengaji, aktif di berbagai majlis ta'lim dan kajian keagamaan.
Selama pandemi, dia aktif dalam dunia literasi dan mendaftarkan diri ke sebuah platform menulis, Kompasiana. Di situlah dia mulai aktif menulis. Apapun yang terbersit di hati, apapun yang sedang dialami, aktivitas yang dia lakukan, semua dia tulis. Maka tak heran jika tulisannya sangat beragam, dari mulai puisi, resep masakan, cerita saat jalan-jalan, kulineran, kenangan masa lalu, harapan,impian, dan lain-lain. Selain itu dia juga berani untuk ikut even-even yang diadakan oleh berbagai komunitas, dan beberapa kali pula karyanya menjadi yang terpilih. Akunnya pun terverifikasi centang biru di Kompasiana. Sebuah pencapaian yang luar biasa dalam waktu singkat. Jangan katakan pula tentang usia, karena Mbak Siska mulai istiqomah menulis ini di usia yang lebih dari 40 tahun, bahkan menjelang setengah abad. Namun usia semangatnya tidak kalah dari gadis usia belasan.
Pelatihan menulis siang itupun diisi dengan praktik langsung. Para peserta diberi waktu sekitar 15 menit untuk menulis terkait acara pelatihan. Tak lupa saya berjanji memberikan dua buku karya saya untuk peserta terbaik sebagai pemantik motivasi. Setelah waktu habis, saya berkeliling untuk membaca semua hasilnya. Sungguh mengharukan membaca tulisan para peserta. Ternyata perjuangan mereka untuk pergi ke acara ini tidaklah mudah. Ada yang menempuh jarak puluhan kilometer, ada yang masih memiliki tanggung jawab besar di keluarga, dan banyak kisah haru lainnya. Menarik pula untuk diperhatikan, bahwa sebagian besar peserta menulis bahwa dulunya mereka pernah aktif menulis berbagai jenis karangan, terutama fiksi. Acara pelatihan menulis ini melecutkan semangat mereka untuk kembali menulis.
Memeriksa hasil karya yang ditulis di gawai peserta |
Sesuai janji, saya pun memberikan apresiasi untuk dua karya terbaik. Dengan berat hati, saya harus memilih dua saja dari sekian banyak peserta. Bagaimanapun juga ini adalah kompetisi yang harus ada pemenangnya, meski dalam hati kecil saya mengatakan bahwa semua peserta adalah jawara. Satu buku karya saya yang berjudul "Addun dan Addin" diberikan kepada Wiradatul F dari Konang, mahasiswi STIT Al Ibrahimi. Dia saya beri apresiasi untuk intro tulisannya yang unik dengan diksi yang menarik. Buku kedua saya persembahkan untuk Mbak Uswatun Hasanah, untuk karyanya yang berisi kisah menyentuh hati, berisi impian yang ditulis dengan penuh harapan. Semoga cita menjemput ridha-Nya.
Penyerahan Buku "Addun dan Addin" |
Penyerahan Buku "Islam Lokal: Tradisi Ngabula di Pesantren Madura" |
Pelatihan menulis pun selesai ba'da Dzuhur, tetapi saya belum boleh pulang jika belum ikut menghadiri acara ramah tamah makan siang bersama seluruh peserta dan panitia. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memampukan saya untuk mengisi acara hari itu. Harapan saya semoga pelatihannya tidak berhenti di hari itu saja, tetapi ke depannya dibentuk komunitas literasi yang kegiatan utamanya adalah membaca dan menulis agar hawa semangat hari ini tidak menguap begitu saja.