![]() |
Source: https://www.expedia.com/pictures/middle-east/israel/haifa-port.d553248621558034722 |
1. Senja
di Pelabuhan Haifa
“Apakah kau mau ikut ke pelabuhan?” Tanya Taher.
“Memangnya ada apa di sana?”
“Hm, kau terlalu banyak berdiam di rumah, Sayang. Tidakkah kau dengar
berita bahwa hari ini ada kapal yang akan merapat?”
“Namanya juga pelabuhan, ya tentu saja banyak kapal merapat,” komentar
Widad sambil melipat setumpuk pakaian di depannya. Suaminya pun tertawa,
menyadari betapa dia tidak detil menjelaskan sesuatu.
“Kapal yang akan berlabuh ini berisi para pengungsi Yahudi dari Eropa.
Ratusan orang berada di atas kapal itu, konon katanya mereka ditolak untuk
berlabuh di manapun.”
“Jadi, mereka mau berlabuh di Haifa? Pilihan yang cerdas! Mungkin mereka
tahu jika penduduk sini sangat pemurah dan melayani tamu dengan baik. Semoga
saja mereka menjadi tamu yang tau diri, setelah diusir dari sana sini!” Ucap
Widad ketus.
“Sayang, kamu kenapa kok kasar sekali? Ingatlah, namamu Widad, yang
artinya cinta kasih. Janganlah kasar begitu, apalagi kau sedang mengandung anak
kita.”
“Ya Allah, lindungilah dia, bahkan dari ucapan dan perbuatan burukku…!”
Ucap Widad sambil mengelus perut buncitnya.
“Ayolah, ikut ke pelabuhan! Barangkali pikiranmu perlu penyegaran…,”
Taher setengah memaksa. Widad pun tak bisa menolak lagi, dan dia rasa ini bukan
ide yang buruk.
Sepasang suami istri itu berjalan santai ke pelabuhan, menikmati semilir
angin di bulan Mei. Cuaca begitu cerah, menyisakan keindahan musim semi
sekaligus penyambutan kepada musim panas. Haifa adalah kota pelabuhan yang tidak
kehilangan keindahannya meski semakin hari kian ramai. Pesona laut Mediterania
yang membentang luas di sebelah barat, dengan warna birunya yang begitu segar.
Memandang arah lain, terbentang hijau kecoklatan gunung Carmel di sebelah barat
daya hingga arah selatan, membuat kota Haifa semakin cantik seperti namanya.
![]() |
source: https://photodune.net |
Mereka berjalan melewati tanah lapang yang biasanya dipakai anak-anak
remaja bermain bola. Betapa kagetnya ternyata di sana telah didirikan puluhan
tenda. Penduduk setempat sibuk mempersiapkan alas, peralatan tidur, dan banyak
yang berbondong-bondong mengantar makanan. Suasana sangat sibuk seperti
menyambut tamu agung.
Begitu tiba di pelabuhan, sudah banyak pula penduduk yang berjejal di sana.
Tampak mereka membawa pakaian, makanan, minuman, dan buah-buahan untuk
menyambut para pengungsi. Taher menyesal tidak membawa apapun, tetapi Widad
tidak. Dia memang sengaja pergi ke pelabuhan hanya untuk melihat kapal
berlabuh, tidak lebih.
Dari kejauhan, kapal St Louis mulai merapat pelan. Di atas kapal, tampak
para penumpangnya berjubel sambil melambaikan sebuah spanduk besar bertuliskan:
THE GERMANS
DESTROYED OUR FAMILIES
AND OUR HOMES - DON’T YOU DESTROY OUR HOPES
“Oh,
lihatlah tulisan itu, Sayang!” Seru Taher. Istrinya hanya tersenyum sinis.
Memang beberapa hari ini Taher sering bercerita bagaimana nasib para Yahudi di
Eropa, nasib mereka yang terlunta-lunta, tetapi tidak sedikit pun yang
meluluhkan hati Widad. Padahal Taher sangat mengenal tabiat istrinya yang
selalu penuh kasih sayang kepada semua makhluk ciptaan Allah. Ah, barangkali hanya bawaan jabang bayi saja,
piker Taher.
Begitu
kapal berlabuh sempurna dan jangkar telah diturunkan, para penumpang pun
berhamburan keluar kapal. Penduduk Haifa pun menghampiri mereka, menyambut
bagai saudara yang lama terpisah. Dari kejauhan Taher melihat sahabatnya,
Qasim, sedang sibuk mengangkat koper milik para pengungsi. Begitu mereka
berjalan mendekat, Taher pun menyapa dan bertanya apa yang sedang dilakukan
sahabatnya.
“Aku akan
menolong satu keluarga pengungsi ini di rumahku. Semoga jadi tambahan kebaikan
bagiku dan keluargaku suatu hari nanti,” jawab Qasim dengan tulus. Di
belakangnya ada satu keluarga terdiri dari seorang laki-laki yang tampaknya
kepala keluarga tersebut. Di belakangnya ada seorang wanita tua yang lebih
tepat menjadi ibu lelaki Yahudi tadi, seorang wanita muda yang tampaknya adalah
sang istri, dan dua orang anak lelaki sekitar tujuh dan sembilan tahun. Mereka
semua terlihat kelelahan dan dengan pasrah mengikuti langkah Qasim.
“Apakah kau
bersedia melakukan hal yang sama, Sayang?”
“Apa?
Menampung mereka? Oh, tidak akan pernah!” Sahut Widad ketus. Taher hanya
menggeleng sambil menarik napas panjang menghadapi istrinya yang keras hati.
“Lihatlah
para pengungsi yang lemah itu. Badan mereka kurus dan dekil, tampak sekali
penderitaan yang berkepanjangan,” ujar Taher.
“Sudahkah
kau tatap mata mereka, Taher? Tidakkah kau lihat pandangan licik mereka?
Mungkin kau bilang ini konyol, tetapi aku punya firasat buruk. Ayo kita pulang
saja,” Widad tampak kesal dan menggandeng suaminya pulang.
Karena terburu-buru,
tanpa sengaja Widad menyenggol anak lelaki dari keluarga yang dibawa Qasim. Reaksinya
sungguh di luar dugaan. Anak itu marah-marah sambil menangis dan
menunjuk-nunjuk ke arah Widad. Keluarga Yahudi itu semuanya melotot dan mencaci
dengan bahasa asing yang tidak dipahami Widad ataupun Taher.
“Tamu tak
tahu diri…!” Balas Widad, kemudian segera Taher menggandengnya. Melihat kejadian
itu, Taher mulai mempercayai firasat istrinya.
Lalu,
bagaimana nasib Qasim yang terlanjur mengambil keluarga Yahudi itu untuk
diselamatkan? Siapakah keluarga Yahudi yang diselamatkan Qasim itu?