Pelajaran Di Atas Lautan
Beberapa jam sebelum kapal berlabuh….
“Daratan… daratan…!” Teriak
seorang anak lelaki dengan riangnya, berlarian di sepanjang dek kapal dan masuk ke dalam kabin yang berisi keluarga
besarnya. Lalu dia berteriak memanggil kakak lelakinya. “Ehud, lihat… itu
daratan. Kita hampir sampai….”
“Jangan berteriak, Yitzhak! Nanti nenek bisa terkejut mendengar suaramu,”
nasihat kakaknya. Namun, perempuan tua bermata tajam itu rupanya terlanjur terkejut
dan membuka matanya. Kondisi perempuan tua itu begitu payah, karena kapal yang
mereka tumpangi terombang-ambing begitu lama di lautan. Beberapa Negara menolak
kedatangan mereka. Dengan pelan, nenek itu duduk, lalu memanggil seluruh
keluarganya untuk merapat di sekelilingnya.
“Apa yang akan Savta*
sampaikan?” Tanya Yitzhak tidak sabar. Dia ingin segera keluar lagi melihat
proses kapal berlabuh.
“Sebentar lagi kita akan sampai di tanah yang dijanjikan. Eretz Israel. Di
sana kita akan mendirikan sebuah negara baru, khusus kita saja. Maka aku
ingatkan kalian, jaga persaudaraan sesama kita, manusia pilihan Tuhan.”
“Tapi Savta, di daratan itu
nampaknya sudah banyak gedung dan bangunan. Berarti di sana sudah ada yang
menempati sebelum kita,” ujar Yitzhak. Bocah tujuh tahun itu memang cerdas dan
suka bertanya.
“Itu nanti akan menjadi milik kita. Kalian yang harus bisa merebutnya
dari penduduk sana. Mereka bukan manusia pilihan, bahkan bukan manusia!”
Perempuan itu berbicara dengan berapi-api. Suara paraunya bersaing dengan deru
mesin kapal uap. “Orang-orang itu layak dibunuh. Lakukan cara apapun untuk
mendapatkan yang kita inginkan, demi Negara Tsiyonut impian…!” dengan semangat
berkobar, perempuan enam puluh tahun itu berorasi di tengah keluarganya.
“Kenapa kita tidak bergabung saja dengan orang-orang itu?” Ehud mencoba
bertanya seperti adiknya. Dia dua tahun lebih tua dari Yitzhak.
“Jika kalian menempati di sebuah rumah, apakah kalian mau tinggal
bersama tikus dan kecoa?” Tanya si nenek tua kepada anak cucunya.
“Tidaak…!’ Jawab mereka serempak. Sangat kebetulan ada seekor kecoa
melintas di dekat kaki si nenek tua. Segera dia ambil sebelah sandalnya, lalu menghajar
kecoa itu dengan sekali pukul. “Beginilah yang harus kita lakukan pada mereka.”
Keluarga besar itu pun bersiap-siap untuk turun dari kapal dengan
beberapa kopor kulit dan beberapa kantung pakaian. Hanya barang-barang itu yang
bisa diselamatkan akibat pengusiran yang mereka alami di Eropa.
Sebelum Nazi menguasai Jerman, kehidupan keluarga Shimon dan Jemina
cukup berada. Orang tua Yitzhak dan Ehud itu memiliki sebuah toko kebutuhan
sehari-hari yang cukup besar. Kedua anak lelaki itupun sebelumnya bisa
bersekolah dengan normal. Hingga tiba hari-hari buruk bagi komunitas Yahudi di
Jerman, mereka diburu dan disiksa, sehingga memutuskan untuk ikut rencana
relokasi ke luar Eropa. Mereka tidak tahu secara pasti akan kemana, tergantung negara
apa yang mau menerima mereka.
Gambar ketika Yahudi diusir di Polandia. Sumber gambar: tirto.id |
Tak lupa Shimon menjemput Keset, ibunya, yang berada di
permukiman kota lain. Keset tidak mau pergi kecuali Shimon mau mengajak adiknya
yang bernama Beryl, beserta keluarganya. Beryl mempunyai istri bernama Mayim, dan
seorang anak perempuan berusia lima tahun bernama Shira. Mereka berdelapan
kemudian menyebut diri keluarga besar Chazan, untuk memudahkan pendataan di
tempat baru nanti.
Dengan tidak sabar, Yitzhak keluar dari kabin dan melihat proses kapal
merapat. Dari kejauhan dia melihat begitu banyak orang-orang di pelabuhan
menyambut kedatangan mereka. Lalu dia berbisik pada Ehud. “Apakah kau
mempercayai yang dikatakan Savta? Benarkah
kita akan membunuh orang-orang itu nantinya?” Tanya bocah itu.
“Hm, mungkin akan sulit pada awalnya, tetapi kita akan terbiasa,” jawab
kakaknya dengan ringan. Tiba-tiba Yitzhak merasa pusing dan mual. Jiwa murninya
yang masih suci berperang dengan doktrin keluarganya.
“Dulu aku juga merasakan yang kau rasakan sekarang. Percayalah, nanti
kau akan terbiasa. Ingat cita-cita kita untuk mempunyai Negara Tsiyonut,” Ehud
menepuk pundak adiknya. Mereka kemudian kembali sibuk bergabung dengan keluarga
besar Chazan lainnya, bersiap untuk turun dari kapal.
Begitu keluarga Chazan turun satu persatu dari kapal, seorang Arab
menyambut mereka dengan sangat hangat.
“Marhaba… marhaba…!” ujar laki-laki tadi sambil membantu mengangkat
koper. Dialah Qasim, sahabat Taher.
*Savta: Nenek dalam Bahasa Ibrani