Minggu, 22 April 2012

Bercanda Ala Rasulullah SAW


Bercanda Syar’i Ala Baginda Nabi

Fera Andriani Djakfar*)

Apa jadinya jika seseorang selalu berada dalam situasi yang serius dalam menjalani segala aktivitasnya? Tentu saja dia akan dilanda kebosanan, bahkan tekanan batin. Untuk mengobati hal itu, ada kalanya seseorang membutuhkan candaan dan guyonan sebagai selingan dan penangkal stress. Sebagaimana obat yang membutuhkan dosis tepat, bercanda pun harus sesuai takaran. Bercanda yang bagaimanakah yang diperbolehkan, dan bagaimana pula yang dilarang syari’at?
Islam sebagai agama pamungkas selalu menawarkan solusi bagi umatnya. Melalui teladan yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW., umat Islam bisa mendapatkan gambaran prilaku yang layak dijadikan panutan. Termasuk di dalamnya, adab bercanda dan bersenda gurau yang syar’I atau sesuai tuntunan syari’at.
Sebagai manusia biasa, Rasulullah SAW pun bercanda bersama keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Tujuan beliau adalah untuk menghibur, menambah keakraban, sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang di antara mereka. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW suka bergurau, tapi dalam lingkup yang wajar.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Daud dari Anas bin Malik: Sesungguhnya  Nabi Muhammad SAW berkata padanya: “Wahai yang bertelinga dua!” Maksud Baginda Nabi dengan kata-kata itu adalah untuk bercanda, agar hubungan di antara mereka menjadi lebih akrab. Namun canda Rasulullah juga bisa diinterpretasikan lain, yaitu agar Anas ataupun sahabat yang lain lebih teliti dalam mendengarkan sesuatu.
Di dalam riwayat lain, konon seorang wanita tua mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya tentang surga. Lalu beliau berkata pada nenek tersebut,”Wanita tua tidak masuk surga”. Mendengar hal itu, nenek tadi menangis tersedu. Lalu Nabi berkata lagi untuk menghiburnya, “Sesungguhnya ketika masa itu tiba Anda bukanlah seorang wanita tua seperti sekarang.” lalu Beliau membacakan ayat, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan “ [QS. Al-Waaqi’ah : 35-36]. Maka senyuman wanita tua itu kembali merekah.
Dalam kisah lain, Zaid Bin Aslam menceritakan bahwa Ummu Aiman mendatangi Baginda Rasul SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundang Anda.” Lalu Nabi berkata, “Siapakah suamimu? Apakah yang di matanya ada warna putih?” Ummu Aiman berkata untuk menyangkal, “Tidak, di matanya tidak ada warna putih.” Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata, “Tidak ada orang yang di matanya tidak ada warna putihnya.” Maksud Baginda Nabi adalah warna putih kornea mata. Hal itu beliau utarakan untuk sekedar bercanda.
Baginda Nabi SAW juga senang bercanda bersama istri-istri beliau untuk semakin memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah RA., beliau pernah diajak lomba lari oleh Rasulullah SAW. Karena saat itu Sayyidah Aisyah masih sangat belia dan langsing, maka dengan mudah dapat mengalahkan Nabi Muhammad SAW. Suatu saat, Nabi mengajak Aisyah untuk lomba lari lagi. Saat itu Sayyidah Aisyah sudah bertubuh gemuk, maka dengan mudah Nabi SAW bisa mengalahkannya. lalu Rasulullah berkata, “Ini untuk menebus kekalahan yang dulu.”
Dari contoh-contoh yang pernah diterapkan Baginda Rasul dalam bercanda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bercanda boleh-boleh saja, asalkan tidak berlebihan. Adapun Rasulullah SAW jika tertawa tidak pernah sampai terbahak-bahak ataupun hingga tampak gigi beliau. Beliau cukup tersenyum saja. Dan ketika meluncurkan guyonan, beliau tetap berada dalam koridor kebenaran. Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka Rasulullah SAW. menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.”
Jika ada guyonan atau candaan yang diperbolehkan, maka di sisi lain ada juga gaya bercanda yang harus dihindari. Antara lain:
-Bercanda yang berlebihan dan terus-menerus. Imam Nawawi mengatakan, bercanda dengan terus-menerus akan menurunkan wibawa seseorang. Coba Anda bayangkan jika seorang pejabat tinggi bercanda secara berlebihan, maka tidak diragukan lagi bawahannya tidak lagi segan padanya. Demikian juga orang yang berprofesi pelawak, maka akan sulit jika suatu saat berniat menjadi pemimpin bangsa.
-Berbohong untuk bercanda. Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah." (HR.Ahmad)
-Bercanda dalam perkara-perkara yang serius, misalnya dalam membuat undang-undang, menentukan sebuah hukum, dalam pengadilan, ketika menjadi saksi, dan lain sebagainya
-Bercanda dengan mengolok-olok kekurangan seseorang atau aib suatu kaum. Hal ini sering kita temukan dalam berbagai acara komedi di televisi maupun media lainnya. Ironisnya, mayoritas mereka beragama Islam. tidakkah mereka mengetahui firman Allah berikut ini?
 Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”(QS. AL Hujuraat:11)
-Bercanda di sebuah tempat atau situasi yang tidak selayaknya ada gurauan. Misalnya di tempat yang terkena bencana, ketika sedang bertakziyah, ketika mengiringi jenazah, dan sebagainya. Anda bisa membayangkan sendiri dampak buruk yang mungkin didapat ketika bercanda dalam situasi tersebut.
-Bercanda kepada orang yang tidak suka bercanda. Selain  gurauan Anda akan menguap sia-sia, Anda juga bisa dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Hendaknya Anda bergurau dengan sesama teman atau orang yang lebih muda. Ada kalanya orang tua juga senang bercanda, tetapi tentu tetap mengedepankan norma kesopanan.
Maka dari itu, hendaknya Umat Islam menjadi Ummatan Wasathon yang bisa menjaga keseimbangan dalam hal apapun juga. Hiruk pikuk duniawi yang membuat stress memang sesekali perlu diredam dengan guyonan dan candaan. Namun tentu saja ada norma-norma yang perlu dijunjung tinggi. Mengumbar tawa sama halnya dengan mengumbar hawa nafsu, yang tidak akan mendatangkan kebaikan kecuali hanya mematikan hati nurani. Justru Islam melalui Al Qur’an mengajak ummatnya untuk memperbanyak menangis dari pada tertawa, sebagai proses untuk muhasabah diri, meninjau kembali apa saja yang telah atau belum sempat kita lakukan. Jikalau bercanda memang diperlukan, hendaknya tetap dalam koridor kebenaran dan kesopanan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh sebaik-baik pemberi tauladan, Baginda Rasul Salallahu ‘alaihi wasallam.

*) Penulis adalah Dosen STAI Syaihona, guru Madrasah Diniyah Al-Mukhlishin Perumahan Nilam, penulis cerpen dan artikel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar