Bercanda Syar’i Ala Baginda Nabi
Fera Andriani Djakfar*)
Apa jadinya jika seseorang selalu
berada dalam situasi yang serius dalam menjalani segala aktivitasnya? Tentu
saja dia akan dilanda kebosanan, bahkan tekanan batin. Untuk mengobati hal itu,
ada kalanya seseorang membutuhkan candaan dan guyonan sebagai selingan dan
penangkal stress. Sebagaimana obat yang membutuhkan dosis tepat, bercanda pun
harus sesuai takaran. Bercanda yang bagaimanakah yang diperbolehkan, dan bagaimana
pula yang dilarang syari’at?
Islam sebagai agama pamungkas selalu
menawarkan solusi bagi umatnya. Melalui teladan yang telah dicontohkan oleh
Baginda Nabi Muhammad SAW., umat Islam bisa mendapatkan gambaran prilaku yang
layak dijadikan panutan. Termasuk di dalamnya, adab bercanda dan bersenda gurau
yang syar’I atau sesuai tuntunan syari’at.
Sebagai manusia biasa, Rasulullah
SAW pun bercanda bersama keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Tujuan beliau
adalah untuk menghibur, menambah keakraban, sehingga menumbuhkan rasa kasih
sayang di antara mereka. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
suka bergurau, tapi dalam lingkup yang wajar.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Tirmidzi dan Abu Daud dari Anas bin Malik: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata padanya: “Wahai
yang bertelinga dua!” Maksud Baginda Nabi dengan kata-kata itu adalah untuk
bercanda, agar hubungan di antara mereka menjadi lebih akrab. Namun canda
Rasulullah juga bisa diinterpretasikan lain, yaitu agar Anas ataupun sahabat
yang lain lebih teliti dalam mendengarkan sesuatu.
Di dalam riwayat lain, konon seorang
wanita tua mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya tentang surga. Lalu beliau
berkata pada nenek tersebut,”Wanita tua tidak masuk surga”. Mendengar hal itu,
nenek tadi menangis tersedu. Lalu Nabi berkata lagi untuk menghiburnya,
“Sesungguhnya ketika masa itu tiba Anda bukanlah seorang wanita tua seperti
sekarang.” lalu Beliau membacakan ayat, “Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan “ [QS.
Al-Waaqi’ah : 35-36]. Maka senyuman wanita tua itu kembali merekah.
Dalam kisah lain, Zaid Bin Aslam menceritakan bahwa Ummu Aiman
mendatangi Baginda Rasul SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundang
Anda.” Lalu Nabi berkata, “Siapakah suamimu? Apakah yang di matanya ada warna
putih?” Ummu Aiman berkata untuk menyangkal, “Tidak, di matanya tidak ada warna
putih.” Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata, “Tidak ada orang yang di matanya
tidak ada warna putihnya.” Maksud Baginda Nabi adalah warna putih kornea mata.
Hal itu beliau utarakan untuk sekedar bercanda.
Baginda Nabi SAW juga senang bercanda bersama istri-istri beliau untuk
semakin memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah
RA., beliau pernah diajak lomba lari oleh Rasulullah SAW. Karena saat itu
Sayyidah Aisyah masih sangat belia dan langsing, maka dengan mudah dapat
mengalahkan Nabi Muhammad SAW. Suatu saat, Nabi mengajak Aisyah untuk lomba
lari lagi. Saat itu Sayyidah Aisyah sudah bertubuh gemuk, maka dengan mudah
Nabi SAW bisa mengalahkannya. lalu Rasulullah berkata, “Ini untuk menebus
kekalahan yang dulu.”
Dari contoh-contoh yang pernah diterapkan Baginda Rasul dalam bercanda,
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bercanda boleh-boleh saja, asalkan tidak
berlebihan. Adapun Rasulullah SAW jika tertawa tidak pernah sampai
terbahak-bahak ataupun hingga tampak gigi beliau. Beliau cukup tersenyum saja.
Dan ketika meluncurkan guyonan, beliau tetap berada dalam koridor kebenaran.
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW.,
“Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka
Rasulullah SAW. menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata
benar.”
Jika ada guyonan atau candaan yang diperbolehkan, maka di sisi lain ada
juga gaya bercanda yang harus dihindari. Antara lain:
-Bercanda yang berlebihan dan terus-menerus. Imam Nawawi mengatakan,
bercanda dengan terus-menerus akan menurunkan wibawa seseorang. Coba Anda
bayangkan jika seorang pejabat tinggi bercanda secara berlebihan, maka tidak
diragukan lagi bawahannya tidak lagi segan padanya. Demikian juga orang yang
berprofesi pelawak, maka akan sulit jika suatu saat berniat menjadi pemimpin
bangsa.
-Berbohong untuk bercanda. Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang
banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah." (HR.Ahmad)
-Bercanda dalam perkara-perkara yang serius,
misalnya dalam membuat undang-undang, menentukan sebuah hukum, dalam
pengadilan, ketika menjadi saksi, dan lain sebagainya
-Bercanda
dengan mengolok-olok kekurangan seseorang atau aib suatu kaum. Hal ini
sering kita temukan dalam berbagai acara komedi di televisi maupun media
lainnya. Ironisnya, mayoritas mereka beragama Islam. tidakkah mereka mengetahui
firman Allah berikut ini?
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu
kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah
kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim.”(QS. AL Hujuraat:11)
-Bercanda di
sebuah tempat atau situasi yang tidak selayaknya ada gurauan. Misalnya di
tempat yang terkena bencana, ketika sedang bertakziyah, ketika mengiringi
jenazah, dan sebagainya. Anda bisa membayangkan sendiri dampak buruk yang
mungkin didapat ketika bercanda dalam situasi tersebut.
-Bercanda
kepada orang yang tidak suka bercanda. Selain gurauan Anda akan menguap sia-sia, Anda juga
bisa dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Hendaknya Anda bergurau
dengan sesama teman atau orang yang lebih muda. Ada kalanya orang tua juga
senang bercanda, tetapi tentu tetap mengedepankan norma kesopanan.
Maka dari itu, hendaknya Umat Islam
menjadi Ummatan Wasathon yang bisa menjaga keseimbangan dalam hal apapun
juga. Hiruk pikuk duniawi yang membuat stress memang sesekali perlu diredam
dengan guyonan dan candaan. Namun tentu saja ada norma-norma yang perlu
dijunjung tinggi. Mengumbar tawa sama halnya dengan mengumbar hawa nafsu, yang
tidak akan mendatangkan kebaikan kecuali hanya mematikan hati nurani. Justru
Islam melalui Al Qur’an mengajak ummatnya untuk memperbanyak menangis dari pada
tertawa, sebagai proses untuk muhasabah diri, meninjau kembali apa saja yang
telah atau belum sempat kita lakukan. Jikalau bercanda memang diperlukan,
hendaknya tetap dalam koridor kebenaran dan kesopanan, sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh sebaik-baik pemberi tauladan, Baginda Rasul Salallahu ‘alaihi
wasallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar