Tawa dan Tangis
Suatu kali saya sedang bersedih. Tiba-tiba di
ruangan sebelah terdengar suara gelak tawa. Tentu saja itu sangat menyakitkan
hati. Kali lain saya sedang berbahagia dan tertawa. Namun ada orang di
sekitarku yang menunjukkan ekspresi sedih sehingga itu mengganggu bahagiaku.
Jadi, kadangkala tertawa maupun menangis yang
asalnya mubah bisa juga mengganggu orang sehingga entah hukumnya menjadi apa.
Makanya, hati-hati dengan tawa dan tangismu!
Belajar dari buah-buahan
Aku sering menerima rejeki berupa buah-buahan di
rumah. Waktu itu aku menerima pemberian jagung dari salah seorang karyawan.
Terlalu tua, sehingga sudah keras. Di hari lain, aku menerima kedondong.
Terlalu muda, sehingga masih keras. Pernah juga aku menerima kelapa, yang sudah
tua. Jadinya keras sekali. Aku juga pernah mendapatkan buah alpukat yang masih
muda, jadi daging buahnya masih keras.
Maka aku menyimpulkan, buah-buahan mempunyai sifat
berbeda-beda. Ada yang semakin tua semakin keras, ada yang setelah tua melunak.
Manusia pun begitu. Ada yang ketika masih muda berwatak keras, dan setelah tua
menjadi manis dan santun. Sebaliknya, banyak pula yang ketika mudanya lemah
lembut, tapi karena berbagai cobaan wataknya menjadi sangat keras.
Nah, kita
termasuk golongan yang mana?
Belajar dari Arloji (Mengutip dari sebuah status di FB)
Suatu hari, ada seorang
petani yang menyadari bahwa ia
telah kehilangan arlojinya di gudang yang penuh jerami. Itu bukan arloji biasa karena ia mempunyai banyak kenangan
bersama benda itu.
Setelah mencari di antara tumpukan jerami, ia menyerah & meminta bantuan dari sekelompok anak-anak yang bermain di luar gudang. Dia berjanji kepada mereka bahwa orang yang menemukan benda itu akan diberi hadiah. Mendengar ini, anak-anak bergegas ke gudang, membongkar tumpukan jerami tapi masih tidak bisa menemukan jam tangan.
Tepat ketika petani hendak menyerah mencari arlojinya, seorang anak kecil mendekatinya dan minta diberi kesempatan lagi. Petani itu menatapnya & berpikir, "Mengapa tidak? Anak ini terlihat tulus." Jadi petani mengirimkan anak kecil kembali di gudang. Setelah beberapa saat anak kecil keluar dengan arloji di tangannya! Petani itu bahagia sekaligus terkejut ... Dia bertanya pada anak itu bagaimana dia berhasil ketika yang lain gagal ... Anak itu menjawab, "Aku tidak melakukan apa pun selain duduk di tanah & mendengarkan. Dalam keheningan, aku mendengar detak jam *...* lalu hanya menoleh ke arah itu."
Pesan Moral: Sebuah pikiran yang damai dapat berpikir lebih baik daripada pikiran yang gusar. Biarkan beberapa menit keheningan untuk pikiran Anda sehari-hari, dan lihatlah betapa tajam pikiran dalam keheningan itu akan membantu Anda untuk mengatur hidup dengan cara yang lebih baik...!
♡ ♥ ● • 0 · ˙ ˙ ˙ ˙ · · · 0 • ● ♥ ♡
Setelah mencari di antara tumpukan jerami, ia menyerah & meminta bantuan dari sekelompok anak-anak yang bermain di luar gudang. Dia berjanji kepada mereka bahwa orang yang menemukan benda itu akan diberi hadiah. Mendengar ini, anak-anak bergegas ke gudang, membongkar tumpukan jerami tapi masih tidak bisa menemukan jam tangan.
Tepat ketika petani hendak menyerah mencari arlojinya, seorang anak kecil mendekatinya dan minta diberi kesempatan lagi. Petani itu menatapnya & berpikir, "Mengapa tidak? Anak ini terlihat tulus." Jadi petani mengirimkan anak kecil kembali di gudang. Setelah beberapa saat anak kecil keluar dengan arloji di tangannya! Petani itu bahagia sekaligus terkejut ... Dia bertanya pada anak itu bagaimana dia berhasil ketika yang lain gagal ... Anak itu menjawab, "Aku tidak melakukan apa pun selain duduk di tanah & mendengarkan. Dalam keheningan, aku mendengar detak jam *...* lalu hanya menoleh ke arah itu."
Pesan Moral: Sebuah pikiran yang damai dapat berpikir lebih baik daripada pikiran yang gusar. Biarkan beberapa menit keheningan untuk pikiran Anda sehari-hari, dan lihatlah betapa tajam pikiran dalam keheningan itu akan membantu Anda untuk mengatur hidup dengan cara yang lebih baik...!
♡ ♥ ● • 0 · ˙ ˙ ˙ ˙ · · · 0 • ● ♥ ♡
Mencari Tuhan
Mendengar istilah itu,
entah mengapa pikiranku langsung membayangkan sebuah ritual ibadah yang
dilakukan oleh seorang lelaki lanjut usia. Berjenggot panjang memutih,
mengenakan surban dan pakaian serba putih, memejamkan mata sambil memegang tasbih
kayu yang mengkilap karena sering diputar, dan menggeleng-gelengkan kepala
sambil komat kamit di atas sajadah.
Kemudian aku berpikir,
apakah hanya orang seperti itu yang dapat atau boleh mencari Tuhan? Sedangkan
makhluk-Nya sangatlah majemuk. Ada lelaki, ada perempuan. Bahkan dalam istilah
perkelaminan modern saat ini ada istilah waria maupun wanita yang androgini.
Apakah hanya kaum lelaki saja yang bisa mencari Tuhan? Wanita pun pasti bisa
asalkan punya kemauan. Pun juga waria dan wanita androgini,asalkan berniat
tulus. Dan kebanyakan pada akhirnya pencarian yang dia lakukan membawanya ke
fitrah sebagai pria sejati, atau kembali menjadi wanita tulen. Tapi, sebagai
wanita aku sendiri merasa ragu. Bisakah aku menemukan Tuhan di sela-sela waktu nonton tv? Waktu memasak?
Menyuapi dan memandikan anak? Dimana semua pekerjaan itu diiringi canda atau omelan-omelan
yang barangkali semakin menjauhkanku dari dzikir dan berpikir tentang Tuhan.
Kemudian, soal usia
pencari Tuhan. Haruskah menunggu tua dan segala rambut memutih? Padahal ajal
tidak mempunyai standard umur tertentu. Bagaimana bila ajal menjemput dan belum
kutemukan Yang kucari? Simpelnya, ya harus dimulai sekarang. Mudah sekali
direncanakan. Tapi harus bagaimana jika sekarang kumulai? Harus kemana? Ke
masjidkah? Sedangkan mengaji di rumah saja tidak sempat. Mushaf berdebu karena
tak tersentuh. Shalat pun terkejar-kejar
tanpa tuma'ninah. Tuhaaaan....!! bagaimana cara mendapatkan-Mu?
Aku punya kisah
menggelikan dalam khayalanku sendiri. Tentang anak seorang pelacur yang hidup
di tengah lokalisasi. Tiap waktu dia melihat kemaksiatan, termasuk yang
dilakukan ibunya sendiri. Namun tiap kali pula dia beristighfar memohonkan
ampun buat ibu dan masyarakatnya. Ibadah yang dia lakukan sebatas yang dia
tahu. Mengajinya tanpa tajwid karena hanya mengandalkan pelajaran a ba ta di
sekolah darurat. Alkisah, dia ingin melanjutkan ke pesantren dengan alasan
mencari Tuhan. Namun di sana justru dia mabuk dengan lingkungan barunya. Tidak
lagi dia melihat kemaksiatan yang nyata. Sehingga dia pun sering lupa
beristighfar. Waktu senggang yang di rumahnya dia gunakan menonton tv (yang
didalamnya ada lagu, film, infotainment, maupun berita), sekarang digunakannya
untuk mengobrol bersama kawan-kawannya. Ujung-ujungnya ke ghibah. Mengaji? Di
waktu-waktu yang ditentukan oleh pengurus pondok sudah dilakukan. Jadi tidak
ada istilah kerinduan pada Quran, karena terlalu seringnya bertemu.
Nah, jika demikian
kejadiannya, maka mana tempat yang lebih baik buat dia untuk mencari Tuhan??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar