Kaos Kaki di Meja Makan
“Jadi, gitu ya teman-teman. Selama seminggu
aja, kok.” Lulu mengakhiri pembicaraannya. Dia minta izin teman-teman
sekontrakannya untuk mengajak ponakan kecilnya tinggal bersama mereka selama
kurang lebih seminggu karena ditinggal orang tuanya pergi umroh.
“Ya ampyuun, Lulu. Kirain ada apa, gitu
loh. Kalo Cuma ngajak ponakan ke kontrakan kita mah gak rempong…!
Jangankan seminggu, setahun pun gak masalah. Anak kecil ini,” komentar Rida si
anak gaul.
“Iya, tapi kalian gak tau anak macam apa si
Cici itu….” Ujar Lulu dengan nada pasrah. “Andai Mamahku gak ikutan bareng
umroh sama Kak Halim sekeluarga, mendingan si Cici kutitipkan Mamah. Tapi nih
semuanya pergi umroh rombongan. Kak Halim, Mbak Nilam istrinya, mertuanya, dan
Mamah. Cuma aku aja yang gak diajak.”
“Yach, belum taqdirmu aja, Lu. Ibadah umroh
sama haji itu kan urusan taqdir,” Ujar Nella dengan bijak. Diantara empat orang
di rumah kontrakan itu, Nella yang paling dewasa sikapnya.
“Iya, taqdirku jagain si Cici.” Komentar
Lulu pasrah.
“Hm… maaf ya Lu. Emangnya si Cici itu
anaknya gimana? Hm… nakal ya?” Tanya Memey penasaran. Mata sipitnya makin
sipit. Nama aslinya Maimunah, tapi karena mirip dengan Memey di serial Upin
Ipin, jadilah sekarang dia dipanggil Memey. Apalagi sama-sama kutu buku dan
suka ceroboh.
“Malah sebaliknya! Anaknya tuh beda. Umur
delapan tahun, tapi kayak orang dewasa gitu sikapnya. Kalo aku nginep di rumah
mereka tuh ya, rasanya kayak di tempat tentara latihan. Jam segini gini, lalu
gitu, trus kegiatan ini itu… pokoknya padat deh. Kakakku aja yang dulu waktu
belum nikah malesnya minta ampun, sekarang udah ketularan anak dan istrinya
yang gak bisa diem itu…,” Cerita Lulu.
“Waah… harusnya kamu tuh lebih lama tinggal
bareng mereka Lu. Biar sembuh juga malesmu… haha… peace Mbak Bro…!”
Komentar Rida ceplas-ceplos dan baru berhenti setelah dicubit oleh Lulu. Memang
diantara mereka berempat Lulu yang terkenal paling malas dan ceroboh. Disusul
oleh Memey. Sama-sama suka ngambek juga.
“Masbuloh…!!??” Lulu sewot.
“Udah, udah! Ya mestinya kan enak ya
teman-teman. Kita kedatangan teman kecil yang lucu, semoga jadi hiburan buat
kita selama beberapa hari ke depan. Emang kapan dia datang kesini Lu?” Tanya
Nella.
“Besok aku pulang dulu, ada selamatan di
rumah untuk rombongan umroh ini. Trus lusa pagi-pagi banget aku ikut ngantar
rombongan ke bandara, habis dari sana aku sama Cici langsung diantar kesini. ”
Lulu menjelaskan. Jarak dari rumah kontrakan itu ke rumah Lulu sekitar lima
puluhan kilometer. Lulu memilih tinggal di kontrakan yang dekat kampus dari
pada tinggal di rumah mamanya tapi harus terburu-buru untuk berangkat kuliah.
Padahal sepeninggal papanya, mamanya hanya tinggal seorang diri. Mereka hanya
dua bersaudara, Halim dan Lulu. Untung Halim sekeluarga tinggal hanya beberapa
ratus meter dari rumah sang mama.
“Sip markusip… berarti lusa Cici sudah
disini. No worries Lulu chayank… kita gak apa-apa, keleus...!
Ntar Cici bisa milih mau bobo dimana. Kayaknya lebih memilih kasurku yang kayak
tempat tidur beneran. Dari pada kasurmu yang kayak terminal itu…haha…” Ujar
Rida terus menggojlok kecerobohan Lulu.
Rumah kontrakan itu ukurannya cukup besar,
terdiri dari dua kamar yang berukuran luas. Bahkan di dalamnya muat untuk tiga
kasur spring bed sekalipun. Tapi sudah menjadi aturan bersama yang sudah
mereka sepakati, jika ada anggota keluarga perempuan yang mau menginap di sana
karena sedang berkunjung atau keperluan lain, harus sepengetahuan dan seizin teman
satu kontrakan. Kalau tamu laki-laki hanya boleh duduk di teras depan. Selama
setahun lebih kebersamaan ini aturan tersebut selalu mereka patuhi bersama.
Lulu sekamar dengan Rida, Nella sekamar dengan Memey.
*********
Hari yang dinantikan pun tiba. Kebetulan
semua anggota rumah sedang tidak punya jadual kuliah siang itu. Mereka
penasaran dengan sosok Cici yang membuat Lulu tantenya sendiri merasa kurang
nyaman. Tak lama berselang sebuah mobil mewah besar berhenti di depan rumah
kontrakan. Tampak Lulu turun bersama seorang anak perempuan yang membawa sebuah
kopor besar.
“Eh… kopornya segitu besar? Emangnya anak
itu mau umroh juga apa ya?” Celetuk Rida. Nella memberi isyarat agar kawannya
diam, takut terdengar oleh Lulu atau bahkan Cici sendiri.
“Assalamu’alaikum…!” Lulu menguluk salam.
Teman-temannya membalas sekedarnya karena perhatian mereka terfokus pada gadis
cilik berjilbab itu.
“Hai… ini pasti yang namanya Cici ya? Met
ciyang…! Kenalin ya, akooh Kak Rida.” Rida memperkenalkan diri dengan lincahnya.
Cici hanya memandang kearah gadis yang menyapanya. Dari penampilan dan
wajahnya, seolah seperti gadis cilik pada umumnya. Tapi sorot matanya… sangat
berbeda.
“Assalamu’alaikum, Kak Rida!” Sapa balik
Cici sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman, dengan penampilan sangat
bersahaja. Rida jadi kelimpungan. Biasanya dia yang paling berkuasa di segala
suasana.
“Mati kutu loh…! SKSD, sih…!” Bisik Memey
padanya sambil mentertawakan Rida yang memang suka Sok Kenal Sok Dekat. Mungkin
untuk pertama kali inilah Rida tampak canggung bertemu seseorang yang baru
dikenalnya. Dan itu pemandangan lucu bagi sahabat-sahabatnya.
Setelah semuanya bersalaman dengan Cici,
mereka semua masuk ke ruang tamu. Sementara Lulu membawa kopor keponakannya ke
dalam kamarnya.
“Hm… jadi gak masuk sekolah nih selama papa
sama mama umroh?” Tanya Nella untuk mencairkan suasana. Karena
sahabat-sahabatnya tiba-tiba jadi penakut dan bernyali kecil untuk bicara.
“Gurunya diminta libur sementara,” jawab
Cici. Yang lain tampak keheranan. “Saya tidak bersekolah di lembaga apapun.
Saya menjalankan homeschooling,” lanjut Cici lagi. Ketika mengatakan “homeschooling”
lidahnya sudah seperti orang bule.
“Oooh…!” Nyaris serentak para gadis itu
ternganga.
Pantesaan… lha kalo gaya gini mah gimana mo
punya temen di skolah? Batin Rida.
“Ehm… maaf Kakak-kakak, saya permisi dulu
mau menata barang-barang saya.” Cici berlalu dengan sopan dan anggunnya menuju
kamar tantenya. Rida langsung mengekor di belakangnya, diikuti oleh
sahabat-sahabat yang lain. Mereka penasaran dengan barang-barang bawaan Cici.
Untunglah ada Lulu di kamar itu, sehingga
pembicaraan agak cair. So far so good, tidak ada yang aneh dengan
kehadiran Cici di rumah kontrakan itu. Apa sih yang bisa diperbuat oleh seorang
gadis cilik yang membawa kopor besar berisi tumpukan buku tebal dan sebendel
kertas origami, asturo, gunting, cutter??? Setidaknya seharian itu. Karena esok
paginya….
*********
“Memey… Nella… bangun…!!” Rida membangunkan
tetangga kamarnya. Nella pun membuka pintu dengan mata masih setengah tertutup
dan terus menguap.
“Emang sudah subuh, ya?” Tanya Nella sambil
terus menguap. Biasanya dia sudah bangun, tapi tadi malam ternyata masih
mengerjakan tugas sampai larut.
“Beluuum… tapi akooh sudah dibangunin sama
si Polici…!”
“Polisi? Ada apa?” Memey ikut nimbrung.
Mata sipitnya tiba-tiba melebar. Jangan-jangan selama ini dia hanya menyamar
bermata sipit.
“Itu, si Cici. Duh, sekarang akooh panggil
si polici aja deh kalo lagi gak ada si Lulu. Ini jam segini dia udah ribut.
Enak-enak tidurin dibangunan…!”
“Hush! Enak-enak tiduran dibangunin… dasar
anak gaul kebablasan kamu Rid. Ya syukurlah biar kita bisa tahajud. Ayolah, toh
demi kebaikan kita juga,” ujar Nella mengakhiri aduan si Rida. Mereka pun
shalat Tahajjud di kamar masing-masing. Ketika menjelang Shubuh….
“Kakak-kakak… ayo sini shalat berjemaah!”
Cici mengetuk pintu kamar Nella dan Memey. Penghuninya sedang terkantuk-kantuk
menunggu adzan.
“Ayo Kakak… pahalanya lebih afdol dua puluh
tujuh derajat lho ya…!” Cici terus mengetuk pintu. Nella dan Memey pun pergi ke
kamar sebelah. Mereka pun berjemaah berlima. Biasanya sih mereka sholat sendiri-sendiri. Yang bangun
duluan sholat duluan, trus bangunin yang lain.
Yach, apa salahnya sih berubah menuju hal
yang lebih baik? pikir mereka. Ternyata dengan berjemaah serasa ada yang berbeda.
Apalagi setelah sholat bersalam-salaman. Jujur saja, meskipun setahun sudah
mereka bersama, tapi jarang sekali mereka saling bersalaman kecuali Nisfu
Sya’ban dan lebaran.
Sehabis sholat Shubuh para gadis itu
terkantuk-kantuk dan tertidur di kamar masing-masing. Hingga….
“Nella… Mey… bangun dong!” Kali ini Lulu
jadi duta ke kamar sebelah. Dua sahabatnya terbangun sambil menguap menahan
kantuk.
“Ada apa lagi sih Lu?” Tanya Memey.
“Ehm… tentang rumah ini. Jangan kaget, ya…
ponakan tersayangku bikin ulah,” ujar Lulu pelan.
“Apa Lu? Kenapa? Kebakaran ya? Banjir air
kran??” Tanya Memey bertubi-tubi menyebut berbagai kemungkinan.
“Ya gak segitunya, kelleeus…!” Lulu
sewot. “Dah, liat aja sendiri. Pokoknya pesanku, jangan marah sama Cici.
Bisa-bisa uang sakuku dipotong sama kakakku!”
Tiba-tiba rasa kantuk Nella dan Memey
hilang. Mereka segera keluar kamar, mencari-cari apa ada hal yang aneh.
Sepintas terlihat sama saja, semua benda masih menapak di lantai. Tapi, di
dinding….
YOU ARE WHAT YOU THINK![i]
Di ruang tamu terdapat tempelan slogan
tersebut, terbuat dari kertas Asturo pelangi berwarna cerah. Font yang dipakai
sangat pas, guntingannya sempurna. Para gadis itu terperangah. Kejutan tidak
berhenti di situ. Di setiap saklar, terdapat berbagai tulisan kecil di
bawahnya. Kali ini masih di kertas Asturo, tapi ukurannya kecil dan tulisan
memakai spidol.
“Save Energy, Save Money, Save Earth!”[ii]
Seakan masih baru pindahan, para gadis itu
berkeliling ke seluruh ruangan dan mencari-cari tulisan lain. Di pintu kamar
mandi, juga terdapat tulisan:
“Orang Bijak Memakai Air dengan Bijak”
Mereka geleng-geleng kepala. Kapan si Cici
melakukan itu semua? Pasti saat mereka tertidur manis sehabis Shubuh tadi.
“Assalamu’alaikum, Kakak-kakak…!” Sapanya.
Wajahnya tampak segar. Padahal tadi malam ketika Lulu pamit tidur, Cici belum
mau tidur. Dan Cici pula yang bangun terlebih dahulu membangunkan seisi rumah
dengan ajakan Tahajjudnya. Mulai terasa bahwa gadis cilik ini berbeda.
“Maaf kalau saya tidak sopan, Kakak.”
Katanya sambil tersenyum. Ya, awalnya Memey mau protes. Dia paling tidak suka
ada tempelan-tempelan di mana-mana. Tapi permohonan maaf Cici begitu tulus.
“Saya suka peraturan,” katanya lagi. “Dan
sejak saya datang kemarin, saya perhatikan di rumah ini minim aturan.”
“Braak…!!” Ada yang runtuh di hati para
penghuni kontrakan, tepat setelah suara lembut Cici berkumandang. Lembut, tapi
meledakkan. Seperti ranjau dalam semangkuk es krim. Lulu merasa sangat tidak
enak. Tapi dia bersyukur sudah pernah memberi gambaran sosok Cici pada para
sahabatnya.
“Kemarin siang saat saya datang, beberapa
lampu masih menyala. Sewaktu saya ke kamar mandi, air di bak mandi meluap-luap
dan sepertinya Kakak-kakak tidak panik menghadapi itu semua. Berarti ini sudah
biasa,” Cici terus berkomentar. Membuat nyali semua gadis di sekitarnya ciut.
“Hm… sorry ya. Saya ada kuliah pagi. Mau
mandi dulu…,” Nella pamit.
“Macacih? Perasaan kita masuk siang,
kelleus…!” Ujar Rida yang satu jurusan dengan Nella. Dia tidak paham
bahwa pamitnya Nella hanya untuk
mengalihkan suasana. Dia baru sadar setelah Nella mengedipkan mata. Memey pun
juga berpamitan. Tinggal Lulu yang masih mematung di sebelah keponakannya.
Duh, baru hari kedua Cici di sini sudah
seperti ini suasananya. Batin Lulu. Tapi untuk mengungkapkan protes apa-apa
dia tidak berani.
*********
“Sebeeeel…! Rasanya akooh tuh kayak bukan
sekamar sama anak kecil. Tapi kayak sama nenek-nenek mantan tentara, gitu.”
Rida mengungkapkan perasaannya. Dia lebih betah berada di kamar Nella dan
Memey. Dia bercerita kalau setiap tindakannya dikomentari. Mulai dari bangun
tidur disuruh baca doa, mau masuk kamar pakai salam, pakai kaki kanan duluan
untuk masuk kamar, dan sebagainya.
“Pokoknya ‘Afgan’ banget dah tuh anak dalam
berkomentar!” Tambahnya. Yang dia maksud adalah “sadis”, judul lagu populer
dari Afgan. Tak lama Lulu pun masuk, dan dengan lagu lama. Permintaan maaf
untuk segala yang diucapkan dan dilakukan keponakannya. Para sahabatnya
menanggapi lagu lama itu dengan komentar aus pula. Itu-itu aja dialog mereka.
*********
Di hari yang lain, Rida datang dengan baju
yang super kotor bertaburan tepung. Bau amis telur pun sangat menyengat hidung
seluruh penghuni rumah sejak Rida masuk.
“Apa-apaan sih Rid?” Tanya Memey melihat
kondisi Rida. Yang ditanya malah tertawa gembira.
“Nih habis ngerjain di Tania yang lagi
ulang tahun…,” dengan penuh semangat Rida bercerita tentang kejutan yang dia
siapkan untuk Tania, temannya di satu jurusan. Yaitu dengan melempar telur dan
menghambur-hambur tepung di gerbang kampus sepulang kuliah. Tak lama kemudian
Nella pun datang dengan kondisi yang sama. Keduanya bercerita dengan tawa
gembira. Hingga tak lama kemudian…
“Innal mubadzdziriin, kaanuu ikhwaanas
syayaathiin…wa kaanas syaithoonu lirobbihi kafuuroo,” Cici muncul di
dekat mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat mubadzir alias
pemborosan adalah saudaranya syetan. Dan syetan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya…”
Kerumunan yang sedang berbahagia itu pun
bubar.
*********
Keesokan harinya, para gadis datang dari
kampus dengan mengendap-endap. Sejak kedatangan Cici mereka seperti bukan di
rumah sendiri. Andai bukan musim presentasi dan mendekati ujian akhir semester,
mereka memilih izin kuliah dan pulang sementara ke rumah masing-masing. Rupanya
Cici tidak ada di rumah itu. Kemudian ada BBM dari Lulu kalau dia dan
keponakannya sedang berada di plasa terdekat.
“Eh, ternyata suka ke plasa juga ya si
Polici. Kirain cuma ke masjid sama perpustakaan doaang,” komentar Rida.
Siang itu mereka bisa sedikit santai tanpa
ada yang mengomentari setiap gerak-gerik dan ucapan mereka. Mereka sangat
merindukan suasana seperti ini, kemerdekaan yang hilang beberapa hari. Hingga
tak lama kemudian…
“Assalamu’alaikum…!” Terdengar ucapan salam
dari luar, suara Lulu dan Cici.
“Waalaikum salam…!!” Memey dan Rida
menjawab sambil kelabakan. Persis seperti pedagang kaki lima illegal yang
mendengar sirine satpol PP. Karena mereka tadi masuk rumah dalam keadaan capek
pulang kuliah, sehingga barang-barang bawaan, kertas-kertas fotocopy, jilbab,
semua berserakan di ruang tamu dan ruang tengah. Sebelum sempat Rida dan Memey
beres-beres, Lulu dan Cici keburu masuk. Dia menahan tawa melihat kepanikan
kawan-kawannya. Memey merasa aman karena dia mengira sudah menyelamatkan
barang-barangnya. Tapi ternyata, Cici Polici lebih teliti.
“Astaghfirullaaah…Kakak…!! Ini kaos
kaki siapa di meja makan!!? Dzolim…dzolim…meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya…!” Cici berteriak. “Tuh, mahasiswa! Tahunya demooo aja kalau ada yang
kurang beres dari pemerintah. Padahal ngurus diri sendiri aja gak becus!” Tampak
sekali emosinya sangat bergejolak.
“Sayang… iya iya itu salah. Tapi gak usah
segitunya doong…!” Lulu mengingatkan keponakannya. “Ntar kepalanya pusing lagi,
lho. Tadi kan Tante ajak senang-senang ke Mall, eh malah gini lagi.”
Cici lalu diajak Lulu cepat masuk kamar.
Semua sahabatnya saling berpandangan, mencari tau kaos kaki siapa yang
bertengger dengan manisnya di meja makan.
“Hm… itu kaos kakiku. Tadi kan pulang kuliah kebelet
pipis… trus ya keburu-buru deh lempar kaos kakinya.” Memey buka suara yang
disambut dengan “huuu…” panjang dari kawan-kawannya. Ini bukan yang pertama.
Memey memang suka lalai dan pelupa. Handphone-nya aja sudah pernah kena giling
di mesin cuci gara-gara masih ada di saku baju kotornya yang sedang dicuci.
Tapi teriakan Cici tadi sangat meresap di otaknya. Mudah-mudahan saja jadi
shock terapi.
Lulu keluar dari kamar. “Maaf ya
teman-teman… ya gitu itulah.”
*********
Malam ini Malam Jum’at. Lulu mengundang
kawan-kawannya untuk ke kamarnya. Sebab Rida pun sudah mengungsi ke kamar Nella
dan Memey. Katanya, Cici mau minta maaf atas insiden tadi siang. Memey merasa
nyalinya ciut karena takut ditanya siapa pemilik kaos kaki itu.
“Nggak, kok. Dia sudah gak ngungkit itu.
Tadi Cici sudah menyampaikan salam minta maaf karena tadi terlalu kasar. Dia
sadar kalo dia tuh perfeksionis, pingin semuanya sempurna. Tapi dia juga cepat
menyadari kesalahan-kesalahannya. Sekarang dia ngajak Yasinan bersama di kamar.
Mumpung malam Jum’at…,” Lulu menjelaskan.
Para gadis pun berkumpul bersama di kamar
Lulu. Mereka mengaji Yasin bersama, ditutup dengan doa.
“Kakak punya doa dan harapan apa malam ini?
Ayo kita aminkan bareng-bareng…,” ajak Cici. Suaranya lembut dan jernih, nyaris
seperti anak kecil kebanyakan.
“OK. Aku duluan, ya.” Kata Lulu. “Semoga
keluarga kami yang sedang umroh selalu dalam lindungan Allah dan segera pulang
dengan selamat…!”
“Amiiin…!!!” Semua mengamini. Rida yang
paling nyaring.
Sebab kalau keluarga besar Lulu sudah
pulang, kan berakhir pula rezim si Cici? Hihi…! batin Rida.
“Semoga besok kelompokku bisa presentasi
dengan baik…!” Doa Nella.
“Semoga aku segera dibelikan motor matic
oleh ayah…!” Harapan Memey.
“Semmogah akooh segera dapat transferan
uang dari mamah…!” Doa Rida. Sekarang giliran Cici yang belum mengungkapkan
harapannya. Semua mata memandangnya. Cici sedang menengadahkan wajah sambil memejamkan
mata dengan khusyuknya. Dia berdoa dengan sepenuh hati, suaranya bergetar.
“Ya Allah… semoga Yayasan Daarul Qur’an
bisa membangun kembali Rumah Tahfidz di Gaza yang kini telah hancur oleh roket
Israel…!”
“Buummm!!” Seakan-akan roket Israel
menghantam para gadis itu karena kagetnya. Anak sekecil itu, dengan doa seperti
itu. Sementara mereka hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri saja.
Ah, betapa egoisnya kami ini. Pikir Nella.
Malam itu suasana kembali cair. Mereka
berbicara dengan santai, karena Cici ternyata juga bisa menempatkan diri
sebagai tamu dan anak kecil. Rida pun pulang kembali ke kamar itu. Dia asyik
mengobrol dengan Lulu dengan bahasa gaul dan alay yang sedang popular.
Sementara Cici sedang membaca buku “I Am Malala” yang tadi siang baru dibelinya di Mall. Buku yang isinya kisah nyata gadis usia 15 tahun, Malala Yousufzai dari Pakistan
yang ditembak Taliban dalam perjalanannya menuju sekolah. Kisah inspiratif
tentang sulitnya perjuangan mencari ilmu bagi sebagian orang.
“Kamu tuh kok woles bingids… sih
Rid. Kayaknya gak pernah ngerjakan tugas kayak Nella gitu. Santaaaii… terus!”
Lulu mengomentari sahabatnya.
“Mending woles, keleus… dari pada
stress. Kalo masih kurang seminggu tuh, belum muncul ide untuk bikin tugas.
Yang penting buku-buku rujukan sudah tersedia semua. Ntar kalo udah kurang
sehari, nah itu baru muncul dah idenya.”
“Kak… pakai teori The Power of Kepepet aja,
Kak!” Cici ikut nimbrung.
“Haallooh… apacih itu?” Tanya Rida.
“Itu buku bestseller karya Jaya Setiabudi.
Intinya, SEBELUM
KETERDESAKAN YANG SESUNGGUHNYA DATANG SEBAIKNYA KITA MEMBUAT KETERDESAKAN DIRI SENDIRI. Untuk masalah Kakak, tanamkan dalam hati
dan pikiran Kakak bahwa besok adalah deadline tugas itu. Agar Kakak
merasa terdesak, dan bisa muncul ide…,” Cici memberi kuliah.
“Iya juga, ya. Akooh coba ya. Capa tau bisa
muncul ide. Makacih, Adek…!”
“Dan, satu lagi Kak. Juga buat Tante Lulu
nih,” Cici menutup buku yang sedang dibacanya dan serius menatap dua gadis di
depannya.
“Tahukah Tante, Kak Rida, apa penyebab
kegagalan Kongres Pemuda yang pertama di tahun 1926?”
Keduanya menggeleng. Mereka bahkan lupa
Kongres Pemuda itu yang mana, berapa kali.
“Saat itu kongres Pemuda yang dihadiri Jong
Java, Jong Sumatra, dan sebagainya, masih bersifat kedaerahan dan mementingkan
golongan. Beda dengan Kongres Pemuda Kedua.”
“Ciyuus miapah…?” Rida nyeletuk.
“Dalam Kongres Pemuda kedua, mereka sudah
menyadari betul arti persatuan dan kesatuan bangsa. Makanya berhasil merumuskan
Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu BAHASA….” Cici menjelaskan panjang lebar dan
memberi penekanan pada kata Bahasa. Tapi Lulu dan Rida masih memasang tampang
lugu, belum mengerti kemana arah pembicaraan Cici. Gadis kecil itupun mulai
gemas.
“Intinya Kakak, Tante… Bahasa Indonesia itu
hasil perjuangan panjang. Bukan hasil orang iseng. Makanya jangan nodai dengan
bahasa-bahasa gaul, alay, yang gak jelas sumber dan tujuannya itu…!” Ujar Cici
ketus kemudian dia melanjutkan membaca.
Uuppss…! Batin Rida. Dia berjanji akan berhati-hati
lagi agar tidak menggunakan bahasa gaul lagi. Setidaknya di depan Cici, hehe.
*********
Mestinya masih tersisa dua hari Cici
tinggal bersama Lulu. Tapi ternyata di rumah Cici kedatangan tamu keluarga
besar mamanya yang akan mempersiapkan kedatangan para jemaah umroh. Maka tadi siang
secara mendadak dan terburu-buru, Lulu membantu keponakannya berkemas lalu ikut
pulang bersama Cici. Mobil mewah yang dulu mengantar kedatangan Cici sekarang
sudah siap menjemput. Cici berpamitan pada sahabat-sahabat tantenya. Begitu
mobil sudah berlalu….
“Merdeka…!!!” Rida memekik keras. “Huhh…
akhirnya aku bisa berbuat apa aja seperti dulu. Lega…,” ujar Rida.
“Eh, kok cara bicaramu beda sekarang?
Biasanya ‘aku’ kamu ucapkan ‘akoooh’ kayak orang habis nelan biji kedondong.”
Komentar Nella.
“Iya, ya?” Rida juga heran. Biasanya dia
akan menimpali dengan “Macacih?”
“Gitu lebih baik, Rid. Capek, tau dengerin
kamu ngomong bahasa gaul gitu.” Memey ikut komentar.
“Kok kalian selama ini diem aja? Kalo bukan
ditegur Cici ya aku mana tau kalo bahasa kayak gitu bikin orang lain gak
nyaman,” ujar Rida. Sebenarnya dia ingin berhenti mengucapkan kata-kata alay.
Sebab tanpa sengaja dia pernah presentasi di hadapan dosen dan teman-temannya,
dan istilah-istilah alay pun terlontar spontan. Itu membuat dosennya kelihatan
kurang suka.
“Hm… mau apa ya sekarang?” Memey tampak
bingung. “Padahal selama ada Cici kemarin-kemarin rasanya aku ingin copot tuh
semua tempelan kertas di dinding. Tapi dipikir-pikir, kok sayang ya? Malah
harusnya untuk aku lebih banyak lagi tempelan untuk mengingatkan. Misalnya di
mesin cuci diberi tulisan ‘Periksa saku pakaian sebelum dicuci’, gitu kan biar
gak kejadian lagi hp-ku rusak,” ujarnya.
“Iya juga. Kalau aku rasanya
kemarin-kemarin ingin tidur sepuasnya, bangun sepuasnya seperti sebelum
kedatangan Cici yang sebentar-sebentar ngetuk pintu. Ngajak jemaah-lah, ngaji
bareng-lah, doa, atau apa. Tapi sekarang ini kok rasanya sayang ya kalau
kebanyakan tidur? Apalagi kalau sholat sendirian. Rasanya gak enak banget.
Sudah biasa jemaah, sih.” Nella pun berkomentar.
Rida menuju lemari es untuk minum. Biasanya
dia membuka kulkas dengan tangan kanan, sehingga tangan kiri yang meraih botol
minuman dan langsung meminumnya sambil berdiri dengan pintu kulkas masih
terbuka. Kali ini….
“Kakak… duduk. Minumnya pakai tangan kanan.
Mau jadi temennya syetan minum pakai tangan kiri?” Rida bersuara kecil
menirukan Cici. Dia lalu duduk dan menikmati minumannya setelah menutup pintu
kulkas. Nella dan Memey tertawa mendengar ucapan Rida.
“Ternyata tanpa kita sadari kita banyaaak
belajar dari Cici,” ucap Nella. Para sahabatnya setuju. “Kayaknya aku bakalan
kangen sama anak istimewa itu.”
“Gimana kalo ntar keluarga Lulu datang dari
umroh, kita ziarah ke sana?” Usul Memey.
“Oiya, ya. Ide bagus tuh!” Semua setuju.
*********
Beberapa hari kemudian, tiga sahabat itu
mengunjungi keluarga Lulu yang datang umroh. Setelah mengunjungi Mama Lulu,
mereka minta diantar ke rumah orang tua Cici. Lulu menggojloki
sahabat-sahabatnya yang akhirnya merindukan Cici juga.
Di rumah Cici, rupanya masih banyak tamu,
yang tempatnya dipisah antara tamu laki-laki dan tamu wanita. Mbak Nilam, kakak
ipar Lulu menyambut mereka dengan hangatnya. Dia berterima kasih pada mereka
yang telah menerima Cici dengan baik. Setelah tamu-tamu wanita pulang, barulah pembicaraan
tentang tanah suci beralih pada sosok Cici.
“Gimana? Kaget gak ketemu Cici?” Tanya Mbak
Nilam.
“Hm… iya sih Mbak. Anaknya luar biasa…,”
jawab Nella.
“Super cerdas, Mbak.” Memey menambahkan.
Rida juga menambahi kata-kata senada.
“Alhamdulillah… Cici itu anak gifted.
Anak berbakat luar biasa. Dia juga bisa disebut anak indigo…,” Mbak Nilam
menjelaskan.
“Ooh… iya. Saya juga sempat mengira begitu.
Cuma kirain anak indigo cuma ada di kota-kota besar saja,” komentar Rida.
“Apa itu berarti Cici bisa melihat hal-hal
gaib gitu, Mbak?” Tanya Memey.
“Tidak selalu begitu. Tapi saya sudah
persiapkan mentalnya jika suatu saat dia bisa melihat hal-hal seperti itu. Saat
ini dia baru pada taraf bisa merasakan dan menebak kepribadian orang yang
ditemuinya,” jelas Mbak Nilam. “Yang saya utamakan sekarang adalah pengendalian
emosinya. Karena dia tidak bisa tinggal diam melihat sesuatu yang tidak
seharusnya. Akibatnya dia suka marah, emosi, dan berakibat buruk ke
kesehatannya. Apalagi anak-anak indigo jarang sekali tidur.”
“Oooh…,” para gadis itu ternganga. Mereka
pasti sudah dinilai habis-habisan oleh Cici. Mereka jadi merasa malu, karena
pasti Cici sudah bercerita banyak tentang kekacauan di rumah mereka pada
mamanya. Tapi Mbak Nilam mencairkan suasana dengan mengobrol hal yang lain,
masih sehubungan dengan anak indigo. Juga bercerita bagaimana dia dulu pertama
mendeteksi keistimewaan Cici.
“Trus sekarang mana Cici?” Memey
mencari-cari.
“Tuh, nemui tamu-tamu papanya,” Lulu
menunjuk pada sisi teras rumah yang lain tempat para tamu pria.
“Teman-teman akrab papanya ya para dosen,
wartawan, aktivis… bersama merekalah Cici betah ngobrol,” jelas Mbak Nilam. “Bisa
jadi kalian adalah teman termudanya saat ini.”
Kemudian Lulu memanggil keponakannya untuk
menemui sahabat-sahabatnya. Wajah Cici tampak jauh lebih ceria. Mereka pun
mengobrol hal-hal yang ringan-ringan saja. Seputar oleh-oleh apa yang dibawakan
orang tuanya untuk Cici, bagaimana kesehatannya, dan sebagainya.
Waktu berpamitan pun tiba. Sebelum pulang,
Nella meminta Cici untuk memberi nasehat penting buat mereka. Awalnya Cici
menolak, tapi mereka terus mendesak.
“Baiklah, Kakak-kakak. Saya hanya ingin
menyampaikan satu hal yang sangat berbahaya, bahkan bisa menjadi sumber
kerusakan di muka bumi ini.” Ujarnya. Para pendengarnya penasaran.
“Yaitu, kaos kaki di meja makan!” Ucap
Cici. Memey langsung pucat.
Perasaan kaos kakiku gak kotor-kotor amat,
deh. Masa segitunya jadi sumber kerusakan di bumi??? Pikir Memey dengan sedihnya.
“Maksudnya adalah, penempatan sesuatu yang
bukan pada semestinya. Jika diperluas lagi, bisa diartikan menempatkan orang bodoh
pada posisi yang bukan keahliannya. Menempatkan dana tertentu pada proyek yang
salah, menempatkan orang yang tidak amanah pada jabatan penting, dan masih
banyak lagi. Saya yakin Kakak-kakak kan mahasiswi yang cerdas!” Cici mengakhiri
kuliah sorenya.
Para gadis itu mendengarkan dengan seksama.
Baiklah, mereka berjanji tidak ada lagi kaos kaki di meja makan.☺
info anak gifted dan indigo, kunjungi:
http://www.asianfanfics.com/story/view/357966/6/babk-kel-5-11-babk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar