Jumat, 01 Juni 2012

Tips Menulis Kreatif


Menulis Kreatif; Apa dan Bagaimana?
Oleh Fera Andriani Djakfar

Di zaman modern ini, hampir setiap orang bisa menulis. Ibu rumah tangga menulis resep masakan, murid-murid menulis pelajaran, para pemakai ponsel menulis SMS, pengguna jejaring sosial menuliskan status, penulis membuat cerpen atau novel, wartawan menulis berita, dan banyak lagi contoh yang kita jumpai. Namun apakah semua bisa disebut menulis kreatif? Apakah mereka semua dapat disebut penulis? Belum tentu!
Menulis kreatif adalah proses menyusun kata-kata hingga menjadi sebuah karya yang utuh,  berdasarkan ide sendiri. Menulis kreatif dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah pesan buat para pembacanya. Dengan pengertian itu, maka Anda bisa menentukan mana yang termasuk menulis kreatif dan mana yang bukan. Jadi, menyalin sebuah tulisan bukanlah menulis kreatif. Menulis rangkaian kata tanpa mengetahui artinya juga bukan termasuk menulis kreatif.

Bentuk-bentuk Karya Tulis
Secara garis besar, tulisan dibedakan menjadi fiksi dan non-fiksi.
1.      Fiksi
Sesuai dengan namanya, fiksi bersifat fiktif atau rekaan penulis semata. Maka dari itu, karangan berbentuk fiksi sangat mengandalkan daya khayal atau imajinasi penulisnya. Meski demikian, penulis fiksi yang baik tentu tidak menulis sembarangan, melainkan harus tetap memperhatikan beberapa hal. Antara lain alur cerita/plot, setting, penokohan, dan konflik.
Contoh fiksi: cerpen, novel, novelette, naskah drama.
2.      Non-fiksi
Berbeda dengan fiksi, tulisan non-fiksi harus berangkat dari realita dan berdasarkan data sebenarnya. Dalam hal ini, penulis harus berpegang pada kaidah 5W+1H (what, who, where, when, why+how). Ada kalanya penulis tetap harus menggunakan sedikit imajinasinya agar tulisan yang dia buat tidak kaku dan membosankan.
Contoh non-fiksi: karya ilmiah, berita, opini (baik berupa artikel, kolom, essai, editorial, maupun resensi)

Namun seiring perkembangan zaman, pembagian jenis karya tulis pun mengalami penambahan. Saat ini ada yang disebut Faksi (Fakta Fiksi), yaitu penggabungan antara bentuk pertama dan kedua di atas. Faksi berangkat dari realita, namun ditulis sedemikian rupa hingga menjadi seperti cerita. Model tulisan seperti ini lebih mudah masuk ke pikiran dan perasaan pembaca, hingga dapat memengaruhi mereka.

Mencari Ide untuk Menulis Kreatif
Sebelumnya, Anda perlu mengetahui kecenderungan Anda sendiri. Lebih cocok menulis fiksi karena Anda orang yang penuh imajinasi, atau Anda lebih tertarik menulis non-fiksi? Setelah Anda mengenali tipe dan kecenderungan Anda, kini saatnya mencari ide. Gagasan atau ide bisa muncul dari mana saja. Yang terpenting adalah Anda bisa menangkap ide itu lalu mencurahkannya menjadi karya tulis. Seorang penulis sejati bisa memperoleh ide dari manapun, dalam keadaan apapun. Untuk pemula, hal-hal berikut ini bisa dijadikan sumber ide.
a.      Pengalaman pribadi
Banyak penulis yang memulai keterampilan menulisnya dengan menulis buku harian. Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia termasuk penulis kawakan yang memulai dari membuat catatan harian. Anda mungkin menganggap buku harian Anda atau seseorang yang Anda kenal biasa saja. Tapi berbeda halnya jika Anda atau orang yang Anda kenal itu menjadi tokoh ternama. Maka catatan hariannya akan menjadi fenomenal pula. Misalnya, Catatan Harian Anne Frank, seorang remaja Jerman yang menulis catatan harian pada saat Perang Dunia kedua. Catatannya menjadi aset yang sangat penting dan terkenal seantero dunia. Sayangnya dia tidak sempat menikmati popularitas tersebut karena meninggal di pengungsian. Catatan Harian lain yang terkenal adalah yang ditulis oleh Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie.
b.      Hal-hal yang disukai
Anda bisa mendapatkan ide dari hobi dan hal-hal yang Anda sukai. Misalnya, Anda menyukai travelling. Maka Anda bisa menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan atau rekreasi. Contohnya, Anda bisa menulis tentang “Kemegahan Jembatan Suramadu”, “Tips Mengatasi Mabuk Perjalanan”, “Kiat Nyaman dan Aman Mengendarai Motor”, dan masih banyak lagi gagasan lainnya. Atau, Anda suka berkebun? Anda bisa menulis tentang tata cara berkebun yang baik mulai dari memilih bibit hingga panen. Jika Anda menuliskan sesuatu yang Anda sukai, maka Anda akan menuliskannya dengan tanpa beban.
c.       Hal-hal yang dipahami dengan baik
Pengetahuan seseorang tentang suatu hal dapat memberinya ide yang terus mengalir. Ulama-ulama salaf pada zaman dahulu bisa menulis berjilid-jilid buku meskipun hanya memakai peralatan seadanya. Mereka bisa menulis seperti itu karena pemahaman yang mendalam tentang sesuatu atau bahkan beberapa hal. Sebagai contoh, Imam Al-Ghazali, Imam As-Suyuthi, dan banyak ulama lain dengan karya-karya mereka yang luar biasa. Di zaman sekarang, Anda juga bisa menuliskan hal-hal yang Anda pahami dengan baik. Seorang siswa yang ahli Biologi atau pelajaran apapun bisa menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan keahliannya tersebut. Jangan sekali-sekali menulis tentang hal yang tidak Anda pahami. Misalnya, Anda tidak tahu menahu tentang Astronomi tetapi dipaksa dalam waktu singkat untuk menulis tentang itu. Bisa jadi, Anda belajar sebentar dari internet atau buku-buku di perpustakaan. Tapi hasilnya tentu tidak akan maksimal.
d.      Pergaulan yang luas
Setiap orang memiliki kisah hidup yang berbeda dari orang lain. Bahkan orang kembar pun akan memiliki kisah yang berbeda satu sama lain. Jadi jika Anda mempunyai seratus teman, maka seharusnya Anda sudah memiliki seratus kisah yang berbeda. Itu tergantung dari kejelian kita dalam menangkap ide. Tentu saja tidak semua teman kita mau kisah hidupnya diekspos. Tapi kalau kita akan menulis fiksi, maka bisa saja kita menggabungkan kisah beberapa orang teman menjadi satu kisah baru yang utuh dan berbeda. Saat ini pergaulan tidak hanya terbatas pada kawan yang ada di sekitar kita. Dengan adanya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya, memungkinkan seseorang untuk memiliki ribuan kawan. Tentunya, ribuan kisah dapat ditulis.
e.       Bacaan dan tontonan
Hampir seluruh penulis mempunyai hobi membaca. Karena dengan banyak membaca, maka ide untuk menulis akan semakin banyak. Dengan banyak membaca, Anda akan kaya bahasa.  Anda juga akan banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan untuk mendukung tulisan Anda. Jika tidak sempat membaca, maka menonton film juga bisa menjadi sumber ide. Kadangkala dari menonton sebuah kisah mengesankan, kita mendapat ide untuk menuliskan hal serupa.

Masih banyak lagi cara untuk mendapatkan ide. Jika dikumpulkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan cara untuk menyulut gagasan. Jika Anda sudah mempunyai sebuah ide, maka “tangkaplah” dan “penjarakan” ide tersebut agar tidak terlepas. Banyak penulis melakukan tips seperti itu agar tidak lupa dengan ide yang baru didapat. Bisa dengan menuliskannya di buku kecil, bahkan bisa dicatat di ponsel.
Langkah selanjutnya setelah mendapat ide adalah mengembangkan imajinasi agar gagasan itu menjadi sebuah “calon tulisan” yang utuh. Tuliskan poin-poin penting yang akan Anda tulis. Jika Anda menemukan susunan kata yang Anda pikir bagus dan mendukung tulisan Anda, tulis dan kumpulkan. Biarkan otak Anda membuat peta. Tidak apa-apa meskipun ide Anda berserakan. Kumpulkan serpihan-serpihan ide tersebut, lalu Mulai Beraksi!

Minggu, 22 April 2012

Bercanda Ala Rasulullah SAW


Bercanda Syar’i Ala Baginda Nabi

Fera Andriani Djakfar*)

Apa jadinya jika seseorang selalu berada dalam situasi yang serius dalam menjalani segala aktivitasnya? Tentu saja dia akan dilanda kebosanan, bahkan tekanan batin. Untuk mengobati hal itu, ada kalanya seseorang membutuhkan candaan dan guyonan sebagai selingan dan penangkal stress. Sebagaimana obat yang membutuhkan dosis tepat, bercanda pun harus sesuai takaran. Bercanda yang bagaimanakah yang diperbolehkan, dan bagaimana pula yang dilarang syari’at?
Islam sebagai agama pamungkas selalu menawarkan solusi bagi umatnya. Melalui teladan yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW., umat Islam bisa mendapatkan gambaran prilaku yang layak dijadikan panutan. Termasuk di dalamnya, adab bercanda dan bersenda gurau yang syar’I atau sesuai tuntunan syari’at.
Sebagai manusia biasa, Rasulullah SAW pun bercanda bersama keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Tujuan beliau adalah untuk menghibur, menambah keakraban, sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang di antara mereka. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW suka bergurau, tapi dalam lingkup yang wajar.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Daud dari Anas bin Malik: Sesungguhnya  Nabi Muhammad SAW berkata padanya: “Wahai yang bertelinga dua!” Maksud Baginda Nabi dengan kata-kata itu adalah untuk bercanda, agar hubungan di antara mereka menjadi lebih akrab. Namun canda Rasulullah juga bisa diinterpretasikan lain, yaitu agar Anas ataupun sahabat yang lain lebih teliti dalam mendengarkan sesuatu.
Di dalam riwayat lain, konon seorang wanita tua mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya tentang surga. Lalu beliau berkata pada nenek tersebut,”Wanita tua tidak masuk surga”. Mendengar hal itu, nenek tadi menangis tersedu. Lalu Nabi berkata lagi untuk menghiburnya, “Sesungguhnya ketika masa itu tiba Anda bukanlah seorang wanita tua seperti sekarang.” lalu Beliau membacakan ayat, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan “ [QS. Al-Waaqi’ah : 35-36]. Maka senyuman wanita tua itu kembali merekah.
Dalam kisah lain, Zaid Bin Aslam menceritakan bahwa Ummu Aiman mendatangi Baginda Rasul SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundang Anda.” Lalu Nabi berkata, “Siapakah suamimu? Apakah yang di matanya ada warna putih?” Ummu Aiman berkata untuk menyangkal, “Tidak, di matanya tidak ada warna putih.” Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata, “Tidak ada orang yang di matanya tidak ada warna putihnya.” Maksud Baginda Nabi adalah warna putih kornea mata. Hal itu beliau utarakan untuk sekedar bercanda.
Baginda Nabi SAW juga senang bercanda bersama istri-istri beliau untuk semakin memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah RA., beliau pernah diajak lomba lari oleh Rasulullah SAW. Karena saat itu Sayyidah Aisyah masih sangat belia dan langsing, maka dengan mudah dapat mengalahkan Nabi Muhammad SAW. Suatu saat, Nabi mengajak Aisyah untuk lomba lari lagi. Saat itu Sayyidah Aisyah sudah bertubuh gemuk, maka dengan mudah Nabi SAW bisa mengalahkannya. lalu Rasulullah berkata, “Ini untuk menebus kekalahan yang dulu.”
Dari contoh-contoh yang pernah diterapkan Baginda Rasul dalam bercanda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bercanda boleh-boleh saja, asalkan tidak berlebihan. Adapun Rasulullah SAW jika tertawa tidak pernah sampai terbahak-bahak ataupun hingga tampak gigi beliau. Beliau cukup tersenyum saja. Dan ketika meluncurkan guyonan, beliau tetap berada dalam koridor kebenaran. Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka Rasulullah SAW. menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.”
Jika ada guyonan atau candaan yang diperbolehkan, maka di sisi lain ada juga gaya bercanda yang harus dihindari. Antara lain:
-Bercanda yang berlebihan dan terus-menerus. Imam Nawawi mengatakan, bercanda dengan terus-menerus akan menurunkan wibawa seseorang. Coba Anda bayangkan jika seorang pejabat tinggi bercanda secara berlebihan, maka tidak diragukan lagi bawahannya tidak lagi segan padanya. Demikian juga orang yang berprofesi pelawak, maka akan sulit jika suatu saat berniat menjadi pemimpin bangsa.
-Berbohong untuk bercanda. Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah." (HR.Ahmad)
-Bercanda dalam perkara-perkara yang serius, misalnya dalam membuat undang-undang, menentukan sebuah hukum, dalam pengadilan, ketika menjadi saksi, dan lain sebagainya
-Bercanda dengan mengolok-olok kekurangan seseorang atau aib suatu kaum. Hal ini sering kita temukan dalam berbagai acara komedi di televisi maupun media lainnya. Ironisnya, mayoritas mereka beragama Islam. tidakkah mereka mengetahui firman Allah berikut ini?
 Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”(QS. AL Hujuraat:11)
-Bercanda di sebuah tempat atau situasi yang tidak selayaknya ada gurauan. Misalnya di tempat yang terkena bencana, ketika sedang bertakziyah, ketika mengiringi jenazah, dan sebagainya. Anda bisa membayangkan sendiri dampak buruk yang mungkin didapat ketika bercanda dalam situasi tersebut.
-Bercanda kepada orang yang tidak suka bercanda. Selain  gurauan Anda akan menguap sia-sia, Anda juga bisa dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Hendaknya Anda bergurau dengan sesama teman atau orang yang lebih muda. Ada kalanya orang tua juga senang bercanda, tetapi tentu tetap mengedepankan norma kesopanan.
Maka dari itu, hendaknya Umat Islam menjadi Ummatan Wasathon yang bisa menjaga keseimbangan dalam hal apapun juga. Hiruk pikuk duniawi yang membuat stress memang sesekali perlu diredam dengan guyonan dan candaan. Namun tentu saja ada norma-norma yang perlu dijunjung tinggi. Mengumbar tawa sama halnya dengan mengumbar hawa nafsu, yang tidak akan mendatangkan kebaikan kecuali hanya mematikan hati nurani. Justru Islam melalui Al Qur’an mengajak ummatnya untuk memperbanyak menangis dari pada tertawa, sebagai proses untuk muhasabah diri, meninjau kembali apa saja yang telah atau belum sempat kita lakukan. Jikalau bercanda memang diperlukan, hendaknya tetap dalam koridor kebenaran dan kesopanan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh sebaik-baik pemberi tauladan, Baginda Rasul Salallahu ‘alaihi wasallam.

*) Penulis adalah Dosen STAI Syaihona, guru Madrasah Diniyah Al-Mukhlishin Perumahan Nilam, penulis cerpen dan artikel.

Jumat, 11 November 2011

Cerpen Romansa

Romansa Terpasung

Lima menit lagi pukul lima sore, saat dibukanya tirai berwarna hijau muda di balik kaca ruang ICU. Berarti tidak lama lagi kami bisa melihat kondisi Abah yang sedang tergolek lemah karena serangan jantung. Aku segera mengambil posisi di dekat jendela agar pandanganku nanti tidak terhalang orang lain yang juga ingin melihat keluarganya yang sedang dalam perawatan intensif.
Kulihat adikku sedang menenangkan putri kecilnya yang rewel. Di hari Minggu ini peraturan rumah sakit agak longgar, sehingga keponakanku yang masih balita itu bisa ikut membesuk kakeknya. Ah, putri kecil yang lucu. Putri dari adik perempuanku. Sementara aku sendiri masih berstatus lajang. Perawan tua, tepatnya.
"Sreeet…!" Samar sekali suara tirai yang dibuka perawat. Namun cukup mengagetkanku yang sedang menempelkan muka di jendela kaca, tak sabar ingin segera melihat kondisi Abah.
Dari luar ruangan, kulihat Abah masih memejamkan mata. Tapi tampak di layar monitor tekanan darah dan gelombang detak jantungnya mendekati normal. Selang oksigennya juga sudah dibuka. Tidak seperti kemarin sore sewaktu baru masuk rumah sakit. Itu cukup menenangkanku, sedikit mengobati rasa bersalah karena kemarin Abah kambuh setelah mendengar ancamanku.
Aku mundur sedikit, memberi kesempatan pada adikku dan suaminya untuk melihat kondisi Abah.
"Nah, itu Kakek. Coba panggil! Kakek, ayo cepat sembuh…!" Ujar adikku pada putrinya yang berusia dua tahun.
Kapan aku bisa memberikan cucu pada Abah? Ah, sepertinya Abah sendiri yang tidak menginginkan cucu dariku.
                                               
                                                            *********
"Jadi, intinya Abah tidak setuju?" tanyaku.
"Bukan tidak setuju. Tapi belum saatnya Abah untuk setuju."
"Belum saatnya? Abah, tolong pertimbangkan lagi. Umurku sudah tiga puluh dua tahun. Jadi kalau Abah mengatakan bahwa belum saatnya aku menikah, itu lucu! Sekarang saja statusku sudah perawan tua, Bah!"
"Cukup, Lena! Jangan membuat Abah marah. Bisa-bisa jantung Abah kumat!"
Aku hanya bisa menangis. Begitulah senjata Abah jika sedang berseteru dengan anak-anaknya. Dan yang paling sering adalah berdebat denganku karena dari ketiga putrinya, hanya aku yang masih tinggal di rumah orang tua. Setelah ibu meninggal dua tahun lalu, kedua adikku yang semuanya sudah berkeluarga keberatan jika aku meninggalkan Abah meski dengan selusin pembantu. Akupun menuruti keinginan mereka meskipun sebenarnya membeli rumah sendiri aku sudah mampu.
Perdebatan orang tua dan anak memang lumrah. Tapi aku merasa benar-benar terdzalimi oleh orang tuaku sendiri. Aku selalu dipojokkan, terutama soal jodoh.
Dulu sewaktu masih kuliah S1, ada seorang kawan yang ingin menjalin hubungan lebih dekat denganku. Tapi Abah dan Ummi melarang, karena sebagai anak sulung yang harus jadi teladan bagi adik-adik, aku wajib menyelesaikan kuliahku tanpa terganggu. Aku pun menuruti keinginan mereka.
Setelah aku lulus S1, kembali seorang kawan lelaki ingin melamarku. Akan tetapi orang tuaku tetap melarang, dengan alasan aku harus mengambil kuliah program magister dulu. Hingga kuliahku selesai, pintu izin menikah belum dibuka oleh orang tuaku. Alasan mereka, aku harus bekerja dulu. Itu cukup masuk akal, karena orang tuaku adalah tokoh masyarakat. Keluarga kami sering menjadi tolak ukur kesuksesan bagi penduduk sekitar.
Namun aku heran. Mengapa hanya aku yang mengalami hal ini? Adikku yang nomor dua menikah di usia dua puluh empat tahun tanpa harus bekerja maupun meneruskan kuliah S2 terlebih dahulu. Saat itu usiaku dua puluh tujuh. Aku hampir panik karena terlangkahi. Tak lama kemudian adikku yang bungsu bertunangan, dan menikah setahun kemudian. Hal itu makin menambah kepanikan karena rasa-rasanya usiaku merangkak semakin cepat menuju kepala tiga.
Kini usiaku tiga puluh tiga tahun, telah menjadi dosen di sebuah universitas ternama sambil mengambil program S3. Kuharap setelah aku meraih gelar Doktor, pintu izin itu akan dibuka oleh Abah. Tapi rupanya belum ada sinyal yang menandakan dibukanya harapanku.
Sudah banyak pria yang melamarku, tapi ditolak oleh Abah dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Beliau selalu berkata, "Belum saatnya."
"Lalu kapan waktunya, Abah? Aku malu, Bah. Setiap bertemu kawan lama, tidak ada yang bertanya titel atau pekerjaanku. Semuanya bertanya, 'Suami orang mana? Sudah punya momongan berapa?' Aku tidak muda lagi, Bah." Ratusan kali aku mengatakan hal itu padanya. tapi hanya dijawab dengan diam, gelengan kepala, atau kalimat andalannya, "Belum saatnya."
 Untungnya masih juga ada perjaka shalih dan baik hati yang mau menikahiku di usiaku yang ketigapuluh tiga ini. Dosen baru di universitas tempat kami mengajar itu datang pada saat aku sudah putus asa. Di saat aku nyaris memutuskan untuk membujang saja selamanya. Muhammad Abduh namanya. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Kudengar dari kawan-kawan, dia tipe perfeksionis dalam segala hal, termasuk urusan jodoh. Itu membuatnya termasuk telat menikah. Aku tak menyangka ternyata akulah yang memenuhi kriteria calon istrinya.
Mas Abduh pun ke rumah untuk menyampaikan niat sucinya. Kuharap kali ini Abah dapat menerimanya. Karena dari segala segi, Mas Abduh sangat ideal sebagai menantu dan suami. Tapi tak kusangka, jawaban Abah masih sama. Lelaki idamanku pun pulang dengan gontai dan mengusung kekecewaan.
"Dek Lena,  besok atau lusa tolong tanyakan kembali pada Abah. kapan tiba saatnya? Maaf, Dek! Mas juga selalu didesak keluarga besar." Itu pesan Mas Abduh ketika kuiringi kepergiannya keluar dari gerbang rumahku sesaat setelah penolakan Abah. Aku hanya bisa mengangguk dan tertunduk. Aku tak kuasa memandangnya, takut semakin memupuk cinta yang tak bermasa depan cerah ini.
Setiap hari, tanpa bosan kutanyakan hal yang sama pada Abah. Namun jawabannya juga masih sama. Itu membuatku stres. Aku berubah jadi sosok introvert, menarik diri dari lingkungan sekitar.
Hingga kemarin sore kutemukan cara jitu untuk "mengancam" Abah.
"Abah, Mas Abduh tanya lagi. kapan saatnya? Sebab kalau masih lama atau jawaban Abah masih sama, dia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Kalau sampai itu terjadi, mungkin aku memilih mati saja!" Kataku dengan ketus. Barangkali baru kali ini aku berbohong dan berkata kasar. Dan tidak tanggung-tanggung, objek pelampiasannya adalah orang tuaku sendiri.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Abah mendengar kata-kataku, karena aku membelakanginya dan asyik memangkas tanaman hias di halaman rumah kami. Tiba-tiba terdengar bunyi berdebum. "Buuk!" Tubuh Abah tersungkur ke tanah. Kedua tangannya mencengkeram erat dada kirinya. Serangan jantung.
"Budhe... kakek cakit apa?" Pertanyaan keponakaanku membuyarkan lamunanku.
"Sakit jantung, Nduk. Sininya yang sakit. doakan, ya!" Jawabku sambil memegang dadanya. Tak lama kemudian tirai ICU kembali ditutup, bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib. Aku turun sejenak untuk shalat di mushalla rumah sakit.
                                                           
                                                            *********
"Mbak, cepat ke ICU! Abah sudah sadar. Kata perawat, beliau mau ketemu Mbak Lena. Jadi orang lain ndak boleh masuk." Kata adikku berapi-api sewaktu kami berpapasan di pintu lift.
Aku bergegas menuju ruang ICU. Di depan pintu seorang perawat sudah menyambutku.
"Saudari Lena? Mari ikut saya ke dalam!" Ajaknya. Aku pun mengikutinya memasuki ruangan yang sejuk dan kedap suara itu. Dia memberiku baju khusus, lalu menyuruhku mencuci tangan di wastafel dengan sabun antiseptik. Kulakukan semua dengan tergesa, ingin segera melihat Abah dari dekat.
Kemudian kudekati tempat pembaringannya. Suster di sana menarik tirai yang menyekat pembaringan Abah dengan pasien di sebelahnya. Kini kami serasa hanya berdua saja di ruangan itu.
"Lena, sebentar lagi saatnya tiba." Abah membuka pembicaraan. kulihat layar monitor, gelombang detak jantungnya naik turun tidak teratur. Tekanan darahnya pun meningkat. Kupikir belum waktunya untuk membicarakan hal serius.
"Abah, Rasti dalam perjalanan. Di luar ada Leni dan anaknya. Lucu, lho Bah. Tadi nanya, Kakek cakit apa? " Aku menirukan ucapan keponakanku untuk menghibur Abah.
"Dengar, Lena. waktu Abah tidak banyak. Sekarang barulah Abah buka rahasia, kenapa selama ini kamu selalu kami tunda untuk menikah?"  Abah menarik napas. Ada air mata yang menggenang di matanya. "Kalau dipikir-pikir, Abah egois sekali ya Nduk. Abah takut menjadi rendah di mata orang-orang, sampai-sampai tega mengorbankanmu."
"Maksud Abah apa, to? Aku makin bingung."
"Abah dan Ummimu, dulu juga pernah muda. Pernah juga menjalani kisah cinta muda-mudi seperti anak-anak sekarang, karena kami tinggal di ibu kota. Pergaulan yang rusak itu membuat kami lepas kontrol. Maka jadilah kamu..." Cerita Abah menempeleng hatiku. Jadi... aku anak haram?? Aku ingin banyak bertanya, tapi kubiarkan Abah meneruskan ceritanya.
"Setelah itu, kami menikah. Abah harus bertanggung jawab. Demi menutup aib dan bertobat, kami merantau ke pulau ini dan tidak pernah lagi kembali ke Jakarta. Untuk menghapus jejak, di tempat baru ini kami memiliki semua dokumen baru yang sudah direkayasa tanggalnya. Buku nikah, akte kelahiranmu, KTP, semua hasil rekayasa. Rasa-rasanya semua akan baik-baik saja. Sampai... tiba waktumu menikah."
"Karena Abah tidak boleh menjadi wali nikahku?" Sebagai dosen Syari'ah aku paham maksud Abah.
"Abah terngiang ucapan Pak Penghulu yang menikahkan kami dulu. 'Kalau anak yang dikandung calon istrimu ini perempuan, ingatlah! Dia harus dinikahkan wali hakim, karena dalam Islam anak yang dikandung sebelum menikah dianggap tidak sah dan terputus nasab serta hak warisnya...!'"
Jadi itu masalahnya? Tanyaku dalam hati. Lidahku kelu dan pelupuk mata panas oleh air mata.
"Kalau Abah masih hidup, lalu kamu dinikahkan oleh wali hakim, apa kata orang?"
Apa kata orang lebih penting dari perasaanku, ya Bah? Protesku dalam hati.
"Abah selalu berharap segera mati saja agar kamu bisa cepat menikah dan aib kami tidak terbuka. Ternyata ibumu yang lebih dulu wafat. Kalau kisah ini terungkap, apa nanti kata orang setelah mendengar pembina pengajiannya pernah hamil sebelum nikah?"
"Ya, sudahlah Bah. Biar aku mengalah saja demi nama baik Abah dan Ummi."
"Tidak, Nduk. Kamu akan segera menikah karena Abah rasa-rasanya sudah tidak kuat lagi...!" Kemudian Abah bernapas dengan susah payah karena menahan tangisnya. Aku segera memanggil perawat yang segera memasang selang oksigen kembali. Keadaan Abah sangat kritis. Para perawat di ICU tidak mampu mengatasi, sehingga harus memberi kode biru pertanda meminta bantuan. Dari dalam ruangan kudengar sayup-sayup penggilan "Code blue ICU... code blue ICU!"
Para dokter dan perawat lain berdatangan, sehingga ruangan ini terasa sesak. Aku tersingkir ke pojok ruangan, tidak berdaya. Aku hanya mampu menangis. Entah menangisi apa. Kondisi Abah, ataukah romansaku yang terpasung ini?
Kulihat perawat memberi terapi kejut listrik pada dada Abah. Tapi sia-sia. Tak lama kemudian terdengar bunyi denging panjang. Di layar monitor hanya ada garis horizontal lurus. Abah meninggal dunia. Dan aku lagi-lagi hanya bisa menangis.
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada SMS masuk. Dengan pandangan berkabut karena air mata, kulihat nama Pengirim, Mas Abduh.
Ass!Dek Lena, maafkn Mas krn blm bs jenguk Abah.mlm ini Mas dijebak oleh keluarga bsr.shgg skrg Mas sdg dlm acr pertunangan.Sp cln istri Mas,kpn2 Dek Lena jg tau.mgkn momenx g'pas utk sampkn berita ini,tp mendingan Dek Lena sgra tahu dr Mas drpd dr org lain.smg Abah lekas smbh.Wass!

Tiba-tiba sekujur tubuhku mati rasa. Semuanya gelap. Yang kudengar hanya suara sayup-sayup, "Code blue ICU... Code blue ICU...!"

                                                                                    Madura, 16 Nov'08