Sabtu, 22 Maret 2014

Cerpen Islami Inspiratif

Kejutan Buat Malaikat




“Ya ampuuun…! Beli yang baru, kenapa sih Mbak? Masa isi ulang terus…”, protesku saat kulihat Mbak Lidya menuangkan bedak sachet ke wadah bedak padatnya yang sudah usang. Sangat butut malah.
“Ngirit, Dek”, jawabnya ringan seperti biasa.
Aku heran pada satu-satunya kakakku ini. Padahal dia seorang Apoteker di Apotik terbesar di kota ini. Belum lagi honornya dari berbagai artikel dan cerpen yang tidak pernah absen di berbagai media cetak. Juga dagangan bajunya yang tiap akhir pekan dia bawa kemana-mana. Tapi hidupnya super irit, bahkan terlalu pelit menurutku.
Di zaman yang sudah canggih ini, handphone yang dia pakai masih layar hitam putih, sisa kejayaan masa lalu. Kemana-mana naik sepeda pancal, naik angkot, becak, atau jalan kaki. Jilbabnya biasa saja, dari kain polos seperti anak pesantren. Sepatunya dari karet, katanya biar mudah kalau sewaktu-waktu wudlu.
Memang Papa sudah meninggal dan Mama pegawai negeri sipil biasa saja. Tapi kupikir Mbak Lidya mampu untuk mengambil cicilan motor, beli pakaian atau sepatu yang modis, dan tas ber-merk. Kalau aku minta sesuatu, pasti diusut hingga tuntas mengenai manfaat dan mudharatnya. Itu pun belum tentu dia turuti. Maka untuk jalan pintas, aku lebih suka minta sesuatu ke Mama. Dulu Papa yang suka memanjakan aku, menuruti apapun yang kumau.
Seperti minggu lalu, aku minta smartphone. Telepon cerdas yang sudah bisa difungsikan seperti komputer, tape-recorder, bahkan kamera. Di rumah sudah ada komputer, tapi sebagai mahasiswi rasanya kurang PD kalau tidak punya smartphone.
Kemarin benda impianku itu sudah kudapatkan dari Mama. Untuk memanas-manasi Mbak Lidya, kuletakkan smartphone-ku di atas meja, berjejer dengan handphone bututnya.
“Mbak, lihat deh!” Panggilku dengan nada mau menjahili. “Ini Smartphone…”, tunjukku pada benda kesayangan baruku. “Dan yang di sebelahnya, Stupidphone….hahaha…!” tak kuasa aku menahan tawa, merasa sangat menang atasnya.
“Menang, kamu ya Dek. Kapan Mama beli itu?”
“Kemarin siang”, jawabku.
“Buat apa punya gituan? Kan semua fiturnya bisa lewat komputer kita!” Dia mulai lagi mengajak debat.
“Ya, kan enak Mbak. Kalau mau nonton video, gak usah colokin listrik. Bisa dimana-mana main game, nonton Youtube, Googling, update status, FB-an, Twitteran, banyak deh…!”
“Andai aksimu sebanyak dan sesering update statusmu, pasti sekarang kamu sudah jadi orang sukses, Dek!”
Gubraaak!! Rasanya seperti ada yang roboh di hatiku setelah mendengar sindirannya. Memang Mbakku dari dulu bintang kelas. Dia aktivis yang sangat pandai memenej waktu, pergaulannya luas, prestasinya segudang, dan selalu semangat. Tidak seperti aku yang cengeng dan manja, adik sang bintang. Sekarang memang kuakui aku keranjingan Facebook. Hari ini saja puluhan status kutulis.
Bangun tidur, aku nulis status,” Morning all… pagi yg dingin. Sholat dulu, yuuuk!”
Mau mandi, “Uh…sebel dech kalo ngantri gini. Cepetan napa, Ma…!”
Mau nyetrika, “Deuh, gak panas2 nih setrikaan. Keburu hatiquw yg panas.wkwkwkwk…”
Mau sarapan, “Wow…nasi goreng kesukaanquw! Makacih Mama chayank, luv u”
Dan puluhan status lagi. Aku suka banyak yang “like’, apalagi kalau ada yang komentar.
“Dek Shinta…!” Panggil Mbak Lidya membuyarkan lamunanku. “It’s a stupidphone indeed, but it’s for smart people!”[i]
“Jadi, smartphone yang ini for stupid people, gitu?” Protesku.“Mbak jahaaat….!” Aku berlari mengejarnya yang keburu berlari ke kebun belakang rumah. Kami pun kejar-kejaran, aku ingin memukulnya. Pukulan sayang. Bagaimanapun aku sangat menyayanginya. Dia idolaku.
*********
Pagi-pagi sekali Mbak Lidya sudah berpamitan keluar rumah. Aku yang terkantuk-kantuk di sofa sehabis sholat Shubuh menggojlokinya.
“Pagi-pagi dah cari uang, Mbak…! Kejar target, ya?” Komentarku asal bunyi.
“Hush!” Mama yang membentakku hingga hilang kantukku, berganti kesal. Lagi-lagi Mama membela Mbak Lidya. Setelah kantukku hilang barulah kulihat dengan jelas bahwa kakakku membawa ransel besar di punggungnya. Entah mau dibawa dagangannya sepagi ini. Aku mau bertanya tapi takut dimarahi Mama. Paling aman dan nyaman, tidur lagi.
*********
Akibatnya, aku kesiangan ke kampus. Di pertigaan terdekat dari kampus, kulihat kerumunan mahasiswa mengerubuti sesuatu atau seseorang, entahlah. Kemudian keramaian berpindah ke gardu bekas posko salah satu parpol. Kupikir, apakah ada kecelakaan? Tiba-tiba aku ingat Mbak Lidya, karena dia sering bersepeda lewat jalur ini. Segera aku menuju kerumunan itu, tapi tubuh mungilku tidak bisa melihat apa yang terjadi meskipun sudah berjinjit dengan semangat empat lima. Aku berusaha senggol sana sini, agar bisa menuju kerumunan terdepan. Dengan nafas tersengal, aku sampai juga di bagian depan.
“Ya ampuuun…!” Aku berseru keras antara lega, takjub, dan geli. Lega, karena ini bukan peristiwa kecelakaan yang menimpa siapapun, apalagi Mbak Lidya. Takjub karena ada peristiwa menghebohkan yang kami lihat ramai-ramai. Yaitu, si Lady Gaga, begitu kami memanggil orang gila wanita ini, berpakaian rapi sekali. Rambutnya yang biasa gimbal seperti penyanyi reggae masih agak basah dan disisir rapi. Kami memanggilnya Lady Gaga karena wanita ini biasanya nyaris tidak berpakaian. Kain yang melilit tubuhnya sudah lumutan dan berbau busuk, kukunya panjang-panjang dan hitam. Jadi mirip Lady Gaga yang suka bergaya aneh dan punya julukan Mother Monster. Geli, karena si Lady ini memegang kertas folio dengan tulisan, “Panggil Aku Amira”.
Waduh, orang sakit gigi pun bisa tertawa.
Diantara kerumunan ini kulihat Reina, kawanku yang paling KEPO, alias Knowing Every Particular Object. Dia adalah sumber utama dan referensi paling lengkap segala gossip.
“Rei, ada apa nih?” Tanyaku sambil menyenggolnya yang masih terus menatap si Lady Gaga.
“Hm… ini aneh. Heran, heran. Ini peristiwa paling misterius yang pernah kutemui.” katanya sok serius. “Dugaan sementara, dia habis pulang atau bertemu keluarganya.”
“Tapi, bagaimana dengan tulisan itu? Masa keluarganya menulis kayak gitu?” Protesku. Si detektif kepo menyerah. Tapi katanya dia yakin suatu saat akan menyibak misteri ini. Terserahlah, bagiku ini peristiwa yang angin lalu saja. Yang penting bukan kecelakaan yang menimpa orang yang aku kenal, ya sudah. Aku lebih memilih untuk segera masuk kampus, ke ruanganku yang mestinya saat ini sedang terjadi diskusi sengit.
*********
Dugaanku keliru. Diskusi pagi ini sangat membosankan. Dosenku mungkin sedang punya masalah, karena sebentar-sebentar keluar ruangan untuk menerima telepon. Sementara kawan-kawan yang mendapat giliran presentasi terlihat tidak siap dengan materi kuliah Filsafat Ilmu ini. Akupun sama sekali tidak nyambung. Dari pada tambah pusing, aku buka Facebook dengan smartphone-ku. Kulihat status-status baru dari kawan-kawanku, dan mataku tersangkut pada status-status yang rupanya sekitar lima jam lalu ditulis Mbak Lidya. Aku suka sekali membaca status-statusnya yang jarang muncul, tapi selalu berbobot. Biasanya aku menyumbang komentar kacau.

            “Are you smart enough for your smartphone?”[ii]

Huh, pasti yang ini menyindirku. Kulihat status-statusnya yang lain. Kutemukan yang sangat panjang dengan mengutip hadits segala.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Abu Bakar masuk tapi Engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk Engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk Engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?” Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang Malaikat saja malu kepadanya?”
Kawan, kalau Malaikat bisa malu, berarti bisa pula terkejut. Mari ciptakan kejutan buat para Malaikat…! 

Apa sih maksudnya? Ah, pikiran Mbak Lidya memang selalu diluar jangkauanku. Tapi untuk urusan make-up, gaya jilbab terbaru, sepatu yang sedang jadi trend, dia kalah telak dariku. Huh, jadi ingat Mbak Lidya dengan prinsip hidup iritnya. Aku bisa mengira-ngira jumlah gajinya di Apotik dan honor tulisannya di majalah-majalah dan koran-koran. Yang membuatku penasaran hanya dagangannya. Kira-kira dijual kemana, dan mendapat keuntungan berapa? Sebab untuk hal yang satu ini Mbak Lidya selalu bungkam. Aku jadi punya ide untuk menyelidikinya bersama si kepo Reina. Akhir pekan ini pasti sudah kudapatkan jawabannya.
Mumpung Dosen masih telponan, aku juga tidak mau kalah menulis pesan kepada Reina untuk membuat janji dan kusisipkan juga beberapa hal tentang kebiasaan Mbak Lidya yang membawa dagangan pagi-pagi buta, tujuannya masih misterius, dan sebagainya.
Ini bukti kebenaran pepatah Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Dosen telpon-telponan, mahasiswa facebook-an.
*********
Siang ini panas sekali. Terpaksa aku naik becak dari kampus yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah. Biasanya Mbak Lidya menyuruhku jalan kaki saja. Tapi sekarang aku betul-betul lemas, jadi terpaksa aku naik becak. Setelah tawar menawar sengit, aku berhasil menawar harga dua ribu untuk sampai di rumah. Setibanya di depan rumah…
“Oh, ternyata di rumahnya Nak Lidya, ya? Sampeyan apane Nak Lidya?” Tanya tukang becak itu dengan logat Jawa medoknya.
“Saya adiknya,” jawabku singkat. Heran, kok kepo juga si Abang becak ini?
Biasane kalo Nak Lidya gak pernah nawar. Malahan dari tempat tadi dia ngasih saya dua puluh ribu, bahkan pernah Lima puluh ribu…,” katanya.
“Ah, nggak mungkin Pak. Mbak saya nggak segampang itu mengeluarkan uang,” kilahku. Hampir saja aku keceplosan mengatakan bahwa kakakku sangat pelit, tapi kusimpan kembali kata-kata kasar itu ke dalam hati.
“Lho, kalo sampeyan ndak percaya yo wis,” katanya lagi kemudian terus berlalu setelah menerima uang dua ribuan dariku. Ah, paling-paling ini hanya akal bulus si Abang becak agar aku memberinya lebih.
Setelah menguluk salam dan masuk rumah, aku menumpahkan kekesalanku pada Mama yang juga baru datang.
“Jadi, Ma… intinya Mbak Lidya itu pelit banget… banget… banget sama aku! Triple pelit, super duper pelit sama adik sendiri!”
Kulihat Mama diam saja. Aku terus nyerocos, dan baru berhenti karena bentakan Mama.
“Cukup, Shinta!” Bentak Mama dengan keras. Nyaliku surut dan menciut. “Kamu tidak tau saja, ya. Selama ini siapa yang membiayai kuliahmu? Baju-baju ber-merkmu? Sepatu-sepatu mahalmu? Bahkan HP barumu itu, siapa?” Tanya Mama dengan sengit.
“Bu... bu… bukannya Mama?” Aku tergagap-gagap karena takut dengan kemarahan Mama yang diatas level normalnya.
“Sebetulnya Mbakmu menyuruh Mama merahasiakan ini semua. Tapi setiap hari kamu semakin jadi menuntut ini itu pada Mbakmu. Tega-teganya kamu mengatakan ‘pelit’ pada orang yang selama ini membiayai seratus persen kebutuhanmu?? “ Mama makin marah. Lalu mulai menangis tertahan, sehingga suaranya serak.
“Sejak papamu sakit, kita punya pinjaman di bank dengan jaminan gaji Mama. Sudah dua tahun berlalu, dan akan terus begitu hingga tiba akhir cicilan tiga tahun lagi. Gaji Mama nyaris tak bersisa tiap bulan, mungkin hanya cukup untuk membeli sekarung beras saja. Sementara semua biaya listrik, air, perbaikan rumah,  lauk-pauk, pakaian, uang kuliahmu, pulsa, uang transport kita semua, dan segala barang-barang mahalmu, Mbakmu yang menanggung. Ngerti kamu, Shinta?”
Aku hanya bisa menunduk. Aku baru tahu kalau ternyata kami mempunyai tanggungan hutang yang sangat banyak. Biaya rumah sakit selama Papa dirawat ternyata mencapai angka yang fantastis, cukup untuk ongkos naik haji empat orang. Aku merasa sangat bersalah. Rasa-rasanya ingin kujual semua barang mewahku dan kukembalikan uangnya buat Mbak Lidya.
*********
Minggu pagi yang dingin, sehabis Shubuh paling nyaman berselimut lagi. Kulihat sepintas, Mbak Lidya sudah hampir rapi dengan ransel besar dagangannya. Lalu dia berpamitan pada Mama dan mencubit pipiku. Aku sudah hampir tidak penasaran lagi dengan kemana tujuan dagang Mbakku. Toh kini aku tahu bahwa semua uang bermuara pada kebutuhan keluarga ini.
Hingga akhirnya Reina menelponku bahwa dia sudah siap, berada di sekitar rumahku. Ah, dasar kawanku yang satu itu. Tidak bisa melewatkan satu misteri pun. Aku menyesal sudah mengajaknya beberapa hari yang lalu, tapi detektif gadungan tingkat kampus ini tidak mengenal kata “batal” untuk sebuah misteri.
Terpaksa dengan hanya mencuci muka, aku mengenakan baju olah raga dengan jilbab bahan kaos yang praktis. Tentu agar Mama tidak curiga mengapa aku tiba-tiba keluar rumah.
“Ditelpon teman, Ma. Diajak olah raga kayaknya,” kataku berbohong saat berpamitan. Toh ini kan olah-raga hati dan otak? 
Sesampainya di luar rumah, aku celingukan mencari Reina. Tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dengan motor bebek matic-nya. Lengkap dengan helm ekstra untuk kupakai.
“Ayo cepat, target sudah ke arah utara dengan naik becak…,” bisiknya. Kami pun menuju arah yang dia maksud. Reina sangat lihai dalam berkendara motor. Aku sangat iri, ingin punya motor seperti ini. Tapi kalau ingat betapa sengsaranya Kakakku untuk memenuhi kebutuhanku, rasa iri itu pupus.
Tiba-tiba Reina menghentikan laju motor. “Sst… itu target sudah turun dari becak!” Bisiknya. Aku risih dengan bahasa-bahasa penyelidikan yang dia pakai. Tapi aku menurut saja ketika dia mengajakku mengendap-endap.
Aku mengutuk diriku sendiri yang terlanjur menyewa detektif kampus ini, hingga kami berlagak seperti pencuri yang mengendap-endap di kala shubuh seperti sekarang. Rupanya Mbak Lidya tidak sendirian. Di tempat itu dia sudah ditunggu seorang kawan. Kulihat sepintas dari jarak sekitar dua puluh meter dari mereka, sepertinya itu Mbak Dewi. Teman Mbak Lidya sewaktu masih kuliah dulu. Aku ingat mereka dulu sangat kompak dalam hal apapun. Lalu, apa yang akan mereka lakukan di pagi buta begini? Menggelar dagangan di pasar pagi?
Kulihat mereka terus berjalan, lalu berhenti di sebuah pohon rindang. Aku dan Reina bersembunyi di balik pot besar tempat hidup tanaman Bougainville rimbun.  Dari situ dengan leluasa kami bisa mengamati apa yang sedang dilakukan oleh Mbak Lidya dan kawannya. Rupanya di bawah pohon rindang itu ada sesosok tubuh mungil sedang tidur. Kakakku membangunkannya dengan lembut, seperti yang dilakukannya padaku tiap Shubuh.
Entah apa yang mereka bicarakan, tapi yang jelas mereka bertiga terus berjalan dan berjalan. Kemudian mereka berbelok ke kiri, ada sebuah bangunan di sana. Aku baru mau bertanya pada Reina, ternyata sang Detekif sudah memakai teropong kèker bercorak loreng ala tentara. Mungkin memang dulunya milik tentara. Subhanallah… lengkapnya!
“Bangunan itu adalah sebuah kamar mandi umum, Shin!” Katanya.
“Kamar mandi? Emangnya mau pada ngapain?”
“Kita tunggu di sini dulu. Kalau dalam waktu tiga puluh menit mereka belum muncul, kita panggil polisi.” Usul Reina.
“Hush, ngawur!” Tegorku.
Dua puluh menit kemudian, Mbak Lidya keluar dari bangunan itu sambil menenteng tas plastik besar, yang lalu dibuangnya di tong sampah terdekat.
“Lho… mana anak gembel tadi? Jangan-jangan setelah dimutilasi, oleh kakakmu dimasukkan tas plastik, lalu…” Belum selesai kalimat serampangan Reina, kucubit pahanya. “Aduuh… !” serunya tertahan. Bicaranya semakin kacau saja. Mana mungkin Mbakku sekejam itu?
Selanjutnya, Mbak Dewi yang keluar dari sana. Di tangannya masih memegang gunting, yang lalu dia siram dengan air kemudian dikeringkannya dengan lap. Aku semakin ngeri dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku dan Reina tidak berkedip, menanti adegan apa yang akan terjadi berikutnya. Tak lama kemudian, seorang gadis mungil yang berpenampilan segar muncul dari sana. Lalu di belakangnya Mbak Lidya dan Mbak Dewi berjalan seperti pengawalnya. Anak kecil itu memandangi baju yang sedang dipakainya, lalu berkali-kali memeluk kakakku dan sahabatnya. Kemudian mereka bertiga makan bersama dengan menggelar kertas koran di atas trotoar jalan yang masih sangat sepi. Anak kecil itu kelihatan senang sekali. Setelah kuperhatikan, si kecil yang sekarang segar dan cantik dengan rambut pendek itu adalah anak gelandangan berambut gimbal yang tadi tidur di bawah pohon. Sekarang penampilannya jauh berbeda.
Itu mengingatkanku pada si Lady Gaga dekat kampus. Pasti dia ditangani oleh orang yang sama. Aku tak kuasa menahan haru, bangga pada kakak perempuanku. Sementara Reina mengeluarkan buku catatan, aku berbisik padanya agar kasus yang satu ini dirahasiakan. Dia mengangguk-angguk, lalu menulis di buku kecilnya CASE CLOSED.
“Jangan tulis begitu, ntar kamu dikira meniru Detektif Conan.” Bisikku.
“Trus kasus yang ini mau ditulis apa?” Tanyanya.
“Tulis saja, Kejutan Buat Malaikat!” Kataku. Sambil mengernyitkan dahi tanda tak paham, Reina tetap menulis kalimat yang kuusulkan. Pasti beberapa hari lagi dia mengerti maksud tulisan itu.

                                                                                                            Madura, 234’13




[i] ini memang telepon bodoh, tapi untuk orang cerdas!

[ii] Apakah kamu cukup cerdas untuk telepon pintarmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar