Kejutan Buat Malaikat
“Ya ampuuun…!
Beli yang baru, kenapa sih Mbak? Masa isi ulang terus…”, protesku saat kulihat
Mbak Lidya menuangkan bedak sachet ke wadah bedak padatnya yang sudah usang.
Sangat butut malah.
“Ngirit, Dek”, jawabnya
ringan seperti biasa.
Aku heran pada
satu-satunya kakakku ini. Padahal dia seorang Apoteker di Apotik terbesar di
kota ini. Belum lagi honornya dari berbagai artikel dan cerpen yang tidak
pernah absen di berbagai media cetak. Juga dagangan bajunya yang tiap akhir pekan
dia bawa kemana-mana. Tapi hidupnya super irit, bahkan terlalu pelit menurutku.
Di zaman yang
sudah canggih ini, handphone yang dia pakai masih layar hitam putih, sisa
kejayaan masa lalu. Kemana-mana naik sepeda pancal, naik angkot, becak, atau
jalan kaki. Jilbabnya biasa saja, dari kain polos seperti anak pesantren.
Sepatunya dari karet, katanya biar mudah kalau sewaktu-waktu wudlu.
Memang Papa
sudah meninggal dan Mama pegawai negeri sipil biasa saja. Tapi kupikir Mbak
Lidya mampu untuk mengambil cicilan motor, beli pakaian atau sepatu yang modis,
dan tas ber-merk. Kalau aku minta sesuatu, pasti diusut hingga tuntas mengenai
manfaat dan mudharatnya. Itu pun belum tentu dia turuti. Maka untuk jalan
pintas, aku lebih suka minta sesuatu ke Mama. Dulu Papa yang suka memanjakan
aku, menuruti apapun yang kumau.
Seperti minggu
lalu, aku minta smartphone. Telepon cerdas yang sudah bisa difungsikan
seperti komputer, tape-recorder, bahkan kamera. Di rumah sudah ada komputer, tapi sebagai mahasiswi rasanya
kurang PD kalau tidak punya smartphone.
Kemarin benda
impianku itu sudah kudapatkan dari Mama. Untuk memanas-manasi Mbak Lidya,
kuletakkan smartphone-ku di atas meja, berjejer dengan handphone bututnya.
“Mbak, lihat
deh!” Panggilku dengan nada mau menjahili. “Ini Smartphone…”, tunjukku
pada benda kesayangan baruku. “Dan yang di sebelahnya, Stupidphone….hahaha…!”
tak kuasa aku menahan tawa, merasa sangat menang atasnya.
“Menang, kamu
ya Dek. Kapan Mama beli itu?”
“Kemarin
siang”, jawabku.
“Buat apa punya
gituan? Kan semua fiturnya bisa lewat komputer kita!” Dia mulai lagi mengajak
debat.
“Ya, kan enak
Mbak. Kalau mau nonton video, gak usah colokin listrik. Bisa dimana-mana main
game, nonton Youtube, Googling, update status, FB-an, Twitteran, banyak deh…!”
“Andai aksimu
sebanyak dan sesering update statusmu, pasti sekarang kamu sudah jadi orang
sukses, Dek!”
Gubraaak!!
Rasanya seperti ada yang roboh di hatiku setelah mendengar sindirannya. Memang
Mbakku dari dulu bintang kelas. Dia aktivis yang sangat pandai memenej waktu,
pergaulannya luas, prestasinya segudang, dan selalu semangat. Tidak seperti aku
yang cengeng dan manja, adik sang bintang. Sekarang memang kuakui aku
keranjingan Facebook. Hari ini saja puluhan status kutulis.
Bangun tidur,
aku nulis status,” Morning all… pagi yg dingin. Sholat dulu, yuuuk!”
Mau mandi, “Uh…sebel
dech kalo ngantri gini. Cepetan napa, Ma…!”
Mau nyetrika, “Deuh,
gak panas2 nih setrikaan. Keburu hatiquw yg panas.wkwkwkwk…”
Mau sarapan, “Wow…nasi
goreng kesukaanquw! Makacih Mama chayank, luv u”
Dan puluhan
status lagi. Aku suka banyak yang “like’, apalagi kalau ada yang
komentar.
“Dek Shinta…!”
Panggil Mbak Lidya membuyarkan lamunanku. “It’s a stupidphone indeed, but
it’s for smart people!”[i]
“Jadi, smartphone
yang ini for stupid people, gitu?” Protesku.“Mbak jahaaat….!” Aku
berlari mengejarnya yang keburu berlari ke kebun belakang rumah. Kami pun
kejar-kejaran, aku ingin memukulnya. Pukulan sayang. Bagaimanapun aku sangat
menyayanginya. Dia idolaku.
*********
Pagi-pagi
sekali Mbak Lidya sudah berpamitan keluar rumah. Aku yang terkantuk-kantuk di
sofa sehabis sholat Shubuh menggojlokinya.
“Pagi-pagi dah
cari uang, Mbak…! Kejar target, ya?” Komentarku asal bunyi.
“Hush!” Mama
yang membentakku hingga hilang kantukku, berganti kesal. Lagi-lagi Mama membela
Mbak Lidya. Setelah kantukku hilang barulah kulihat dengan jelas bahwa kakakku
membawa ransel besar di punggungnya. Entah mau dibawa dagangannya sepagi ini.
Aku mau bertanya tapi takut dimarahi Mama. Paling aman dan nyaman, tidur lagi.
*********
Akibatnya, aku
kesiangan ke kampus. Di pertigaan terdekat dari kampus, kulihat kerumunan
mahasiswa mengerubuti sesuatu atau seseorang, entahlah. Kemudian keramaian
berpindah ke gardu bekas posko salah satu parpol. Kupikir, apakah ada
kecelakaan? Tiba-tiba aku ingat Mbak Lidya, karena dia sering bersepeda lewat
jalur ini. Segera aku menuju kerumunan itu, tapi tubuh mungilku tidak bisa
melihat apa yang terjadi meskipun sudah berjinjit dengan semangat empat lima.
Aku berusaha senggol sana sini, agar bisa menuju kerumunan terdepan. Dengan
nafas tersengal, aku sampai juga di bagian depan.
“Ya ampuuun…!”
Aku berseru keras antara lega, takjub, dan geli. Lega, karena ini bukan peristiwa
kecelakaan yang menimpa siapapun, apalagi Mbak Lidya. Takjub karena ada
peristiwa menghebohkan yang kami lihat ramai-ramai. Yaitu, si Lady Gaga, begitu
kami memanggil orang gila wanita ini, berpakaian rapi sekali. Rambutnya yang
biasa gimbal seperti penyanyi reggae masih agak basah dan disisir rapi. Kami
memanggilnya Lady Gaga karena wanita ini biasanya nyaris tidak berpakaian. Kain
yang melilit tubuhnya sudah lumutan dan berbau busuk, kukunya panjang-panjang
dan hitam. Jadi mirip Lady Gaga yang suka bergaya aneh dan punya julukan Mother
Monster. Geli, karena si Lady ini memegang kertas folio dengan tulisan,
“Panggil Aku Amira”.
Waduh, orang
sakit gigi pun bisa tertawa.
Diantara
kerumunan ini kulihat Reina, kawanku yang paling KEPO, alias Knowing Every
Particular Object. Dia adalah sumber utama dan referensi paling lengkap
segala gossip.
“Rei, ada apa
nih?” Tanyaku sambil menyenggolnya yang masih terus menatap si Lady Gaga.
“Hm… ini aneh.
Heran, heran. Ini peristiwa paling misterius yang pernah kutemui.” katanya sok
serius. “Dugaan sementara, dia habis pulang atau bertemu keluarganya.”
“Tapi, bagaimana
dengan tulisan itu? Masa keluarganya menulis kayak gitu?” Protesku. Si detektif
kepo menyerah. Tapi katanya dia yakin suatu saat akan menyibak misteri ini.
Terserahlah, bagiku ini peristiwa yang angin lalu saja. Yang penting bukan
kecelakaan yang menimpa orang yang aku kenal, ya sudah. Aku lebih memilih untuk
segera masuk kampus, ke ruanganku yang mestinya saat ini sedang terjadi diskusi
sengit.
*********
Dugaanku keliru.
Diskusi pagi ini sangat membosankan. Dosenku mungkin sedang punya masalah,
karena sebentar-sebentar keluar ruangan untuk menerima telepon. Sementara
kawan-kawan yang mendapat giliran presentasi terlihat tidak siap dengan materi kuliah
Filsafat Ilmu ini. Akupun sama sekali tidak nyambung. Dari pada tambah
pusing, aku buka Facebook dengan smartphone-ku. Kulihat status-status
baru dari kawan-kawanku, dan mataku tersangkut pada status-status yang rupanya
sekitar lima jam lalu ditulis Mbak Lidya. Aku suka sekali membaca
status-statusnya yang jarang muncul, tapi selalu berbobot. Biasanya aku
menyumbang komentar kacau.
“Are you smart enough for your
smartphone?”[ii]
Huh, pasti yang
ini menyindirku. Kulihat status-statusnya yang lain. Kutemukan yang sangat
panjang dengan mengutip hadits segala.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada
Rasulullah saw, “Abu Bakar masuk tapi Engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian
khusus, lalu Umar masuk Engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian
khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk Engkau terus duduk dan membetulkan
pakaian, mengapa?” Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang
yang Malaikat saja malu kepadanya?”
Kawan, kalau Malaikat bisa malu,
berarti bisa pula terkejut. Mari ciptakan kejutan buat para Malaikat…!
Apa sih maksudnya? Ah, pikiran Mbak Lidya
memang selalu diluar jangkauanku. Tapi untuk urusan make-up, gaya jilbab
terbaru, sepatu yang sedang jadi trend, dia kalah telak dariku. Huh, jadi ingat
Mbak Lidya dengan prinsip hidup iritnya. Aku bisa mengira-ngira jumlah gajinya
di Apotik dan honor tulisannya di majalah-majalah dan koran-koran. Yang
membuatku penasaran hanya dagangannya. Kira-kira dijual kemana, dan mendapat
keuntungan berapa? Sebab untuk hal yang satu ini Mbak Lidya selalu bungkam. Aku
jadi punya ide untuk menyelidikinya bersama si kepo Reina. Akhir pekan ini
pasti sudah kudapatkan jawabannya.
Mumpung Dosen masih telponan, aku juga tidak
mau kalah menulis pesan kepada Reina untuk membuat janji dan kusisipkan juga
beberapa hal tentang kebiasaan Mbak Lidya yang membawa dagangan pagi-pagi buta,
tujuannya masih misterius, dan sebagainya.
Ini bukti kebenaran pepatah Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari. Dosen telpon-telponan, mahasiswa facebook-an.
*********
Siang ini panas sekali. Terpaksa aku naik
becak dari kampus yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah. Biasanya Mbak
Lidya menyuruhku jalan kaki saja. Tapi sekarang aku betul-betul lemas, jadi
terpaksa aku naik becak. Setelah tawar menawar sengit, aku berhasil menawar
harga dua ribu untuk sampai di rumah. Setibanya di depan rumah…
“Oh, ternyata di rumahnya Nak Lidya, ya? Sampeyan
apane Nak Lidya?” Tanya tukang becak itu dengan logat Jawa medoknya.
“Saya adiknya,” jawabku singkat. Heran,
kok kepo juga si Abang becak ini?
“Biasane kalo Nak Lidya gak pernah
nawar. Malahan dari tempat tadi dia ngasih saya dua puluh ribu, bahkan pernah
Lima puluh ribu…,” katanya.
“Ah, nggak mungkin Pak. Mbak saya nggak
segampang itu mengeluarkan uang,” kilahku. Hampir saja aku keceplosan
mengatakan bahwa kakakku sangat pelit, tapi kusimpan kembali kata-kata kasar
itu ke dalam hati.
“Lho, kalo sampeyan ndak percaya yo
wis,” katanya lagi kemudian terus berlalu setelah menerima uang dua ribuan
dariku. Ah, paling-paling ini hanya akal bulus si Abang becak agar aku
memberinya lebih.
Setelah menguluk salam dan masuk rumah, aku
menumpahkan kekesalanku pada Mama yang juga baru datang.
“Jadi, Ma… intinya Mbak Lidya itu pelit
banget… banget… banget sama aku! Triple pelit, super duper pelit sama adik
sendiri!”
Kulihat Mama diam saja. Aku terus nyerocos,
dan baru berhenti karena bentakan Mama.
“Cukup, Shinta!” Bentak Mama dengan keras.
Nyaliku surut dan menciut. “Kamu tidak tau saja, ya. Selama ini siapa yang
membiayai kuliahmu? Baju-baju ber-merkmu? Sepatu-sepatu mahalmu? Bahkan HP
barumu itu, siapa?” Tanya Mama dengan sengit.
“Bu... bu… bukannya Mama?” Aku
tergagap-gagap karena takut dengan kemarahan Mama yang diatas level normalnya.
“Sebetulnya Mbakmu menyuruh Mama
merahasiakan ini semua. Tapi setiap hari kamu semakin jadi menuntut ini itu
pada Mbakmu. Tega-teganya kamu mengatakan ‘pelit’ pada orang yang selama ini
membiayai seratus persen kebutuhanmu?? “ Mama makin marah. Lalu mulai menangis
tertahan, sehingga suaranya serak.
“Sejak papamu sakit, kita punya pinjaman di
bank dengan jaminan gaji Mama. Sudah dua tahun berlalu, dan akan terus begitu
hingga tiba akhir cicilan tiga tahun lagi. Gaji Mama nyaris tak bersisa tiap
bulan, mungkin hanya cukup untuk membeli sekarung beras saja. Sementara semua
biaya listrik, air, perbaikan rumah, lauk-pauk, pakaian, uang kuliahmu, pulsa, uang
transport kita semua, dan segala barang-barang mahalmu, Mbakmu yang menanggung.
Ngerti kamu, Shinta?”
Aku hanya bisa menunduk. Aku baru tahu
kalau ternyata kami mempunyai tanggungan hutang yang sangat banyak. Biaya rumah
sakit selama Papa dirawat ternyata mencapai angka yang fantastis, cukup untuk
ongkos naik haji empat orang. Aku merasa sangat bersalah. Rasa-rasanya ingin
kujual semua barang mewahku dan kukembalikan uangnya buat Mbak Lidya.
*********
Minggu pagi yang dingin, sehabis Shubuh
paling nyaman berselimut lagi. Kulihat sepintas, Mbak Lidya sudah hampir rapi
dengan ransel besar dagangannya. Lalu dia berpamitan pada Mama dan mencubit
pipiku. Aku sudah hampir tidak penasaran lagi dengan kemana tujuan dagang Mbakku.
Toh kini aku tahu bahwa semua uang bermuara pada kebutuhan keluarga ini.
Hingga akhirnya Reina menelponku bahwa dia
sudah siap, berada di sekitar rumahku. Ah, dasar kawanku yang satu itu. Tidak
bisa melewatkan satu misteri pun. Aku menyesal sudah mengajaknya beberapa hari
yang lalu, tapi detektif gadungan tingkat kampus ini tidak mengenal kata
“batal” untuk sebuah misteri.
Terpaksa dengan hanya mencuci muka, aku
mengenakan baju olah raga dengan jilbab bahan kaos yang praktis. Tentu agar
Mama tidak curiga mengapa aku tiba-tiba keluar rumah.
“Ditelpon teman, Ma. Diajak olah raga
kayaknya,” kataku berbohong saat berpamitan. Toh ini kan olah-raga hati dan otak?
Sesampainya di luar rumah, aku celingukan
mencari Reina. Tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dengan motor bebek matic-nya.
Lengkap dengan helm ekstra untuk kupakai.
“Ayo cepat, target sudah ke arah utara
dengan naik becak…,” bisiknya. Kami pun menuju arah yang dia maksud. Reina
sangat lihai dalam berkendara motor. Aku sangat iri, ingin punya motor seperti
ini. Tapi kalau ingat betapa sengsaranya Kakakku untuk memenuhi kebutuhanku,
rasa iri itu pupus.
Tiba-tiba Reina menghentikan laju motor.
“Sst… itu target sudah turun dari becak!” Bisiknya. Aku risih dengan bahasa-bahasa
penyelidikan yang dia pakai. Tapi aku menurut saja ketika dia mengajakku
mengendap-endap.
Aku mengutuk diriku sendiri yang terlanjur
menyewa detektif kampus ini, hingga kami berlagak seperti pencuri yang
mengendap-endap di kala shubuh seperti sekarang. Rupanya Mbak Lidya tidak
sendirian. Di tempat itu dia sudah ditunggu seorang kawan. Kulihat sepintas
dari jarak sekitar dua puluh meter dari mereka, sepertinya itu Mbak Dewi. Teman
Mbak Lidya sewaktu masih kuliah dulu. Aku ingat mereka dulu sangat kompak dalam
hal apapun. Lalu, apa yang akan mereka lakukan di pagi buta begini? Menggelar
dagangan di pasar pagi?
Kulihat mereka terus berjalan, lalu
berhenti di sebuah pohon rindang. Aku dan Reina bersembunyi di balik pot besar
tempat hidup tanaman Bougainville rimbun. Dari situ dengan leluasa kami bisa mengamati
apa yang sedang dilakukan oleh Mbak Lidya dan kawannya. Rupanya di bawah pohon
rindang itu ada sesosok tubuh mungil sedang tidur. Kakakku membangunkannya
dengan lembut, seperti yang dilakukannya padaku tiap Shubuh.
Entah apa yang mereka bicarakan, tapi yang
jelas mereka bertiga terus berjalan dan berjalan. Kemudian mereka berbelok ke
kiri, ada sebuah bangunan di sana. Aku baru mau bertanya pada Reina, ternyata
sang Detekif sudah memakai teropong kèker bercorak loreng ala tentara. Mungkin memang
dulunya milik tentara. Subhanallah… lengkapnya!
“Bangunan itu adalah sebuah kamar mandi
umum, Shin!” Katanya.
“Kamar mandi? Emangnya mau pada ngapain?”
“Kita tunggu di sini dulu. Kalau dalam
waktu tiga puluh menit mereka belum muncul, kita panggil polisi.” Usul Reina.
“Hush, ngawur!” Tegorku.
Dua puluh menit kemudian, Mbak Lidya keluar
dari bangunan itu sambil menenteng tas plastik besar, yang lalu dibuangnya di
tong sampah terdekat.
“Lho… mana anak gembel tadi? Jangan-jangan
setelah dimutilasi, oleh kakakmu dimasukkan tas plastik, lalu…” Belum selesai
kalimat serampangan Reina, kucubit pahanya. “Aduuh… !” serunya tertahan.
Bicaranya semakin kacau saja. Mana mungkin Mbakku sekejam itu?
Selanjutnya, Mbak Dewi yang keluar dari
sana. Di tangannya masih memegang gunting, yang lalu dia siram dengan air
kemudian dikeringkannya dengan lap. Aku semakin ngeri dengan apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Aku dan Reina tidak berkedip, menanti
adegan apa yang akan terjadi berikutnya. Tak lama kemudian, seorang gadis
mungil yang berpenampilan segar muncul dari sana. Lalu di belakangnya Mbak
Lidya dan Mbak Dewi berjalan seperti pengawalnya. Anak kecil itu memandangi
baju yang sedang dipakainya, lalu berkali-kali memeluk kakakku dan sahabatnya. Kemudian
mereka bertiga makan bersama dengan menggelar kertas koran di atas trotoar
jalan yang masih sangat sepi. Anak kecil itu kelihatan senang sekali. Setelah
kuperhatikan, si kecil yang sekarang segar dan cantik dengan rambut pendek itu
adalah anak gelandangan berambut gimbal yang tadi tidur di bawah pohon.
Sekarang penampilannya jauh berbeda.
Itu mengingatkanku pada si Lady Gaga dekat
kampus. Pasti dia ditangani oleh orang yang sama. Aku tak kuasa menahan haru,
bangga pada kakak perempuanku. Sementara Reina mengeluarkan buku catatan, aku
berbisik padanya agar kasus yang satu ini dirahasiakan. Dia mengangguk-angguk,
lalu menulis di buku kecilnya CASE CLOSED.
“Jangan tulis begitu, ntar kamu dikira
meniru Detektif Conan.” Bisikku.
“Trus kasus yang ini mau ditulis apa?”
Tanyanya.
“Tulis saja, Kejutan Buat Malaikat!”
Kataku. Sambil mengernyitkan dahi tanda tak paham, Reina tetap menulis kalimat
yang kuusulkan. Pasti beberapa hari lagi dia mengerti maksud tulisan itu.
Madura,
234’13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar